Oleh: Nur Fajri Romadhon
(Anggota Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta & Peneliti di Maqasid Institute Virginia)
Seringkali silaturahmi Lebaran kita tidak sepenuhnya menggembirakan. Malah lebih cenderung membuat banyak orang trauma. Bukan tersebab opornya yang kurang gurih, atau ketupatnya yang terlalu keras, apalagi karena kaget dengan kaleng biskuit yang ternyata isinya rengginang. Namun yang dimaksud ialah bahwa kesucian Lebaran sering ternodai kata-kata dan sikap-sikap yang sadar ataupun tidak sadar muncul dari kita.
Hal itu dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan semisal “Kapan menikah?” atau “Kapan selesai skripsi?” dalam konteks tak positif. Dapat pula berupa komentar-komentar tak mengenakkan semisal “Kamu terlihat lebih gendut.” atau “Anakmu banyak sekali.” Begitu pula dengan sikap cenderung pamer, baik eksplisit seperti terlalu membanggakan pencapaian diri ataupun tersirat dengan memamerkan kendaraan dan gadget mewah. Termasuk juga sikap kurang sopan kepada kerabat yang lebih tua atau kerabat yang dianggap kurang dekat.
Sungguh Al-Imām Aḥmad telah meriwayatkan sebuah hadis yang semestinya kita renungkan dalam-dalam agar tidak jatuh pada perangai tercela di atas yang dapat mencemari hari nan fitri kita.
قيلَ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : يا رَسولَ اللهِ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ وتَصومُ النَّهارَ وتفعلُ، وتصدَّقُ، وتُؤذي جيرانَها بلِسانِها؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ .
Ada sejumlah Ṣaḥābat berkata kepada Nabi ṣallāllahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita yang di malam harinya banyak salat malam dan di siang harinya banyak berpuasa sunnah, serta banyak ibadah lainnya serta ia juga banyak bersedekah. Tetapi ia sering menyakiti tetangganya dengan kata-katanya.
Rasulullah menukas: “Tidak ada kebaikan padanya. Ia akan masuk neraka lebih dahulu.”
Bukankah wanita ini sangat mirip kita yang telah banyak salat, berderma, dan berpuasa di bulan Ramadan namun malah di hari Idulfitri menyakiti saudara-saudari dan para tetangga kita?
Jika memang demikian, maka alangkah serupanya kita dengan hadis lain yang terkenal:
Padahal ibadah-ibadah ritual memiliki maqāṣid (tujuan-tujuan) mulia. Puasa misalnya. Kita semua hafal ayat perintah puasa: “La’allakum tattaqūn. Agar kalian menjadi semakin bertakwa.” [QS. 2: 183] Zakat dan berderma semisal infaq, sedekah, fidyah, dan wakaf pun memiliki hikmah yang teramat luhur. Ialah pensucian jiwa. Allah firmankan:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” [QS. 9: 103]
Begitu pula dengan salat, baik yang wajib seperti salat lima waktu, maupun yang sunnah semisal salat Tarawih dan salat Id, punya salah satu tujuan tertinggi salat, yaitu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana di QS. 29: 45. Al-Imām Ar-Rāziyy dalam salat ada bacaan doa, zikir, dan ayat Al-Qur’an yang jika diresapi maknanya, maka akan membuat seseorang semakin takut berbuat dosa dan berakhlak buruk. Dalam salat kita diajari merendahkan diri di hadapan Allah, khusyuk dan fokus pikiran kita, khusyuk dan tenang anggota tubuh kita, yang semua melatih kita untuk selalu merasa diawasi Allah di mana pun. Melatih kita untuk bisa mengendalikan pikiran dan anggota tubuh dari melanggar larangan Allah.
Lantas, kalau memang perbaikan-perbaikan kepribadianlah yang menjadi salah satu maqāṣid terbesar dari ibadah-ibadah ritual Ramadan di atas, apakah dapat kita katakan bahwa cukuplah kita berakhlak baik, meninggalkan dosa, bersih hati, dan bertakwa, tanpa perlu mengerjakan salat, zakat, dan puasa? Apakah dengan demikian, sebenarnya amal ritual tidak diperlukan lagi? Yang terpenting adalah amal sosial? Rincian-rincian ibadah tidak relevan lagi diperhatikan, sebab yang paling urgen adalah tujuan-tujuan besar ibadah?
Jawabnya tentu tidak begitu. Sebab di penggalan hadis tadi pun sang wanita ternyata juga banyak berderma, yang sebenarnya merupakan ibadah sosial. Sebab kita tetap diperintahkan terus beribadah meski hikmah dan tujuan tadi belum terwujud pada diri kita. Maqāṣid pun takkan terwujud tanpa ibadah ritual dan aturan fikih yang melandasinya sebagaimana ditegaskan Al-Imām Asy-Syāṭibiyy. Ibarat bangunan takkan tegak tanpa batu bata, semen, dan pasir penyusunnya.Tetapi masalahnya ada dua:
Pertama: fokus berlebih pada ritual ibadah dan mengabaikan maqāṣid serta tujuan etika dari ritual. Ibarat siswa yang rajin hadir di kelas namun enggan memahami pelajaran. Demikianlah orang yang rajin salat, zakat, dan puasa namun lalai dari merealisasikan tujuan sosial dari ibadah-ibadah ini.
Kedua: semangat memperbanyak amalan farḍu kifāyah atau sunnah namun lupa menjaga diri dari keharaman. Ibarat siswa yang rajin mengelap kaca jendela ruang guru namun mencoret-coret tembok sekolah. Demikianlah orang yang semangat menambah pahala dengan amalan farḍu kifāyah atau sunnah namun lancang menerjang keharaman.
Hal ini jelas nampak dari lanjutan hadisnya, yang sering lupa disampaikan oleh para penulis dan penceramah:
Para Ṣaḥābat tersebut berkata lagi kepada Nabi ṣallāllahu ‘alaihi wasallam: “Ada pula wanita lainnya yang hanya salat yang wajib, hanya bersedekah sedikit makanan, namun ia tidak menyakiti seorang pun.”
Rasulullah merespon: “Ia termasuk penduduk surga.”
Memang ironis, kita semangat bersedekah dan umrah tapi juga terus berani korupsi dan bertransaksi riba. Banyak berzikir dan salawat namun tidak memakai jilbab atau gemar menggunjing. Semangat tilawah namun tak segan melihat aurat. Memperjuangkan keadilan bagi wanita, namun membela prostitusi dan homoseksual. Menyerukan toleransi, namun hati penuh kebencian dan sūuẓann pada sesama muslim. Giat berdakwah dan menghadiri pengajian namun juga durhaka pada orangtua serta memutus silaturahmi dengan kerabat. Maksimal Ramadannya, namun pongah dan menyakiti sesama di Hari Idulfitri.
Sungguh beruntung orang yang dalam ibadah-ibadah ritualnya tidak lupa menghadirkan hati dan kesadarannya bahwa ibadah semestinya membuahkan akhlak mulia dan rasa takut dari menerjang dosa. Sungguh beruntung orang yang bersamaan dengan kesemangatannya memperbanyak amalan sunnah juga lebih semangat lagi meninggalkan akhlak tercela dan perbuatan yang haram.
Memang, inilah di antara tanda kesempurnaan diterimanya amal salih seseorang. Dengannya, maka maqāṣid amal salih selama Ramadan dan hari Lebaran nan fitri tak lagi ternodai. Naṣrun minallāh, wafatḥun qarīb, wabasysyiril mu’minīn.
Makkah al-Mukarramah, 30 Ramadan 1443 H