REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Setiap memasuki akhir Ramadhan, masyarakat Muslim Indonesia banyak melakukan kegiatan mudik. Hal ini berarti mereka kembali ke kampung halaman untuk bertemu keluarga besarnya.
Lalu pertanyaannya, apakah mudik murni budaya Indonesia? Jika termasuk budaya Indonesia, kapan mudik mulai dilakukan warga Indonesia?
Untuk menjawab ini, Abdul Hamid Arribathi dan Qurotul Aini secara mendalam membahas hal tersebut dalam artikel jurnal berjudul Mudik dalam Perspektif Budaya dan Agama (Kajian Realistis Perilaku Sumber Daya Manusia).
Menurut kedua peneliti, tradisi mudik sebenarnya tidak ada dalam ajaran Islam. Selesai melaksanakan puasa selama Ramadhan, umat Muslim hanya diperintahakan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan sholat Idul Fitri.
“Lalu dilarang berpuasa pada hari satu Syawal,” kata Abdul Hamid Arribathi dan Qurotul Aini dalam jurnal yang diterbitkan pada 2018.
Berdasarkan pandangan Umar Kayam (2002), mudik awalnya hanya tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Tradisi ini sudah dilaksanakan sebelum masa kerajaan Majapahit. Semula, tradisi ini hanya berupa kegiatan bersih-bersih di makam leluhur dengan disertai doa bersama.
Pada masa tersebut, tradisi mudik hanya ditunjukkan untuk memberi keselamatan dalam mencari rezeki. Lalu juga dimaksudkan agar keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun dengan masuknya ajaran Islam ke tanah Jawa, tradisi itu pun mulai terkikis karena dianggap perbuatan syirik. Hal ini terutama bagi masyarakat yang menyalahgunakan tradisi tersebut. Salah satunya dengan meminta kepada leluhur yang telah meninggal dunia.
Menurut Abdul Hamid Arribathi dan Qurotul Aini, istilah mudik mulai mengemuka kembali pada era 1970-an. Ketika itu, Jakarta termasuk satu-satunya kota besar di Indonesia. Dengan kata lain, banyak orang yang mengadu nasib untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik di Jakarta.
Para pekerja di Jakarta saat itu akan mendapatkan libur panjang. Momen libur ini biasanya akan diberikan pada hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri.
“Jadilah momen lebaran ini digunakan untuk mudik atau pulang kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga, juga mereka selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan leluhur,” jelasnya.
Sosiolog Arie Sudjito yang dikutip oleh Abdul Hamid Arribathi dan Qurotul Aini mengungkapkan, terdapat empat faktor yang menyebabkan orang mudik ke kampung halaman. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahim dengan orang tua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis karena momen ini acap digunakan pemudik untuk penyegaran.
Selanjutnya, mudik bisa membuat masyarakat mengingat asal usul mereka. Terakhir, mudik juga ditunjukkan sebagai ajang unjuk diri. Dengan kata lain, ini menjadi ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar.