REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Ketua Umum ICMI Prof Arif Satria menegaskan, Ramadhan adalah sekolah spiritual, sekolah kepribadian dan sekaligus sekolah sosial. “Semoga kita semua bisa lulus sekolah multidimensi ini dengan nilai sempurna, yaitu nilai-nilai yang berasal dari Allah SWT yang nanti akan kita ketahui saat kita berjumpa Al Khalik kelak. Nilai yang baik dari Allah hampir pasti memberikan dampak besar pada perubahan dan memberi manfaat untuk kehidupan kita di dunia,” kata Prof Arif Satria saat menjadi khatib shalat Idul Fitri di Masjid Al-Markaz Makassar, Senin (2/5).
Ia menegaskan, umat Islam harus hidup dalam rel kemajuan. “Lebih-lebih hari ini kita dihadapkan pada dinamika perubahan yang cepat akibat disrupsi Revolusi Industri 4.0. Dunia telah disulap dengat cepat dan semua menjadi mudah terkoneksi. Telah terjadi perubahan teknologi 4.0 yang sangat revolusioner dan membawa perubahan cara komunikasi, cara kerja, cara belajar, cara bisnis, cara berdakwah, dan cara hidup lainnya,” kata Prof Arif Satria yang membawakan naskah khutbah berjudul "Idul Fitri: Modal Multidimensi untuk Kemajuan yang Berkeadilan".
Akibatnya, kata dia, perlu kemampuan adaptasi terhadap perkembangan baru ini. Ada ribuan pekerjaan hilang, namun muncul ribuan pekerjaan baru. Artinya, yang tidak bisa adaptif akan tertinggal zaman.
“Kita juga baru saja diuji adanya pandemi Covid-19 yang hingga hari ini belum tuntas 100 persen, dan kini kita dituntut untuk bangkit melakukan pemulihan dan kembali fokus untuk terus membangun dengan cara-cara baru,” ujar Prof Arif Satria yang juga rektor IPB University.
Prof Arif Satria mengemukakan, hidup harus terus bergerak. Ia lalu menyitir QS Al-Insyirah ayat 7, “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”. “Artinya, kita diperintahkan untuk senantiasa dinamis menjalani kehidupan dengan terus bergerak ke depan dalam rel kemajuan,” tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Menurut Prof Arif, orientasi untuk bergerak maju tersebut didasari pada dua hal. Pertama, menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus memakmurkan dan sekaligus menjaga kehidupan dunia dari kerusakan (QS Hud: 61; QS Al Anbiya: 107; QS AlBaqarah: 30; QS Al Baqarah:11).
“Kedua, sebagai bentuk syukur kita atas nikmat yang tak terhingga dari Allah SWT (QS An-Nahl ayat 4), baik nikmat kehidupan, nikmat akal, nikmat kemerdekaan, dan nikmat iman. Nikmat Allah kepada kita akan secara akumulatif membesar dan membesar manakala kita selalu menyukurinya dengan jiwa dan tindakan nyata yang impactful,” paparnya.
Prof Arif menegaskan, Islam adalah agama yang berisi nilai-nilai kemajuan. Hal ini tercermin dari beberapa orientasi yang diajarkan oleh Alquran dan Sunnah Nabi. Pertama, orientasi sebagai pembelajar. Ayat yang pertama kali turun adalah "iqra" yang artinya membaca. “Penguatan literasi ternyata menjadi fondasi dalam membangun masyarakat. Namun demikian, membaca bisa dimaknai lebih luas tidak saja membaca teks tetapi juga membaca konteks,” ujarnya.
Kedua, orientasi pada masa depan. “Ada dua dimensi masa depan, yaitu masa depan di dunia dan di akhirat,” kata Prof Arif seraya mengutip Alquran surat Al-Hasyr ayat 18, QS Al-Jumu’ah ayat 10, QS Al-Ankabut: 17; dan Al-Qasas ayat 77.
Ketiga,orientasi waktu dan kualitas kerja. “Kualitas kerja adalah orientasi bagi seorang yang beriman. Hal ini tercermin dari melekatnya dua kata yaitu beriman dan beramal saleh dalam sejumlah ayat,” kata Prof Arif.
Keempat, orientasi untuk saling menginspirasi dan kolaborasi. Seperti ditegaskan dalam QS Al-Ashar ayat 1-3.
Kelima integritas. “Kolaborasi yang akan bertahan dalam waktu lama adalah kolaborasi yang berbasis pada sikap saling percaya (trust),” ujarnya.
Keenam, berpikir positif. “Seorang mukmin selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa,” tuturnya.
Ketujuh, proaktif dan penuh inisiatif. Nilai ini muncul sebagai pemahaman atas QS Ar-Ra’d ayat 11 yang menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya. “Di sinilah masa depan kita akan ditentukan oleh kita sendiri. Maju mundurnya kehidupan kita sangat tergantung dari sikap proaktif dan daya inisiatif melalui visi, strategi, dan eksekusi yang kita lakukan,” kata Prof Arif.
Ketujuh nilai tersebut di atas, kata Prof Arif, bisa menjadi pilar budaya kemajuan. Budaya kemajuan ini diperlukan untuk merespons perubahan. Kemajuan secara kultural sangatlah penting bagi konstruksi kemajuan secara material, seperti teknologi, infrastruktur, ekonomi, dan bangunan fisik lainnya.
“Tentu yang kita inginkan adalah kemajuan bangsa dengan kekuatan kombinasi keduanya yakni adanya kemajuan secara kultural dan kemajuan material sekaligus. Selanjutnya seluruh dimensi kemajuan tersebut didasari kerangka spiritualitas yang kuat, sehingga iman dan taqwa tetap menjadi fondasi pokoknya,” papar Prof Arif.
Di akhir khutbahnya, Prof Arif Satria mengajak kaum Muslimin menjadikan momentum Idul Fitri ini untuk memperkuat semangat mewujudkan kemajuan yang berkeadilan. “Yakni memperkuat nilai-nilai kemajuan (pembelajar, orientasi masa depan, kualitas kerja, integritas, kolaborasi dan inspirasi, berpikir positif, dan proaktif) serta nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan,” ujar Prof Arif Satria.