REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kholis Bakri
Lebaran tahun ini seolah-olah telah kembali pada jati dirinya. Kemeriahan lebaran yang ditandai dengan kemacetan, mudik dan ramainya tempat-tempat wisata menjadi tradisi yang melekat di masyarakat kita. Setelah dua tahun dihajar pandemi Covid-19, kita tak bisa bertemu dengan orang tua dan sanak saudara di kampung, maka saatnya kita tumpahkan dalam kerinduan yang membuncah. Silaturahim yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menemukan momentulnya dalam perayaan Idul Fitri, yang sejatinya "orang-orang beriman itu bersaudara" tak dihalangi oleh sekat waktu dan tempat.
Tangisan kebahagiaan, sekaligus bercampur dengan tangisan kesedihan yang seharusnya kita rasakan. Bukan karena datangnya Lebaran, tapi pamitnya Ramadhan, yang entah kita bersua kembali di tahun depan. Ramadhan ibarat kekasih yang selalu dirindukan kebersamaannya.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, seolah-olah baru sesaat. Bukankah di bulan yang penuh berkah itu, ampunan Allah terbuka lebar bagi hamba-hamba-Nya, rahmat-Nya tercurah pada setiap jejak waktu yang dilaluinya, dan pahala dilipatgandakan, bukan lagi pada hitungan 10 kali hingga 700 kali tapi tak terbatas, karena Allah mengatakan dalam sebuah hadist qudsi "Semua amal ibadah seorang hamba itu miliknya, kecuali puasa. dan Aku sendiri yang membalasnya".
Begitulah para salafush-sholeh bersikap terhadap Ramadhan. Ketika Ramadhan sudah meninggalkannya, yang tersisa hanya rasa rindu dan rasa takut. Rindu ingin kembali berjumpa dan takut tak mendapatkannya di tahun depan.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Bagaimana mungkin air mata seorang mukmin tidak menetes tatkala berpisah dengan Ramadhan, Sedangkan, ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya tuk berjumpa lagi.”
Karena itulah, detik-detik ketika Ramadhan akan berakhir, yang mereka pikirkan apakah amal-amal mereka diterima oleh Allah. Ibnu Mas'ud radhiyyalahu anhu berkata, “Siapakah orang yang diterima amalnya lalu kita ucapkan selamat kepadanya? Dan siapa yang tidak diterima amalnya lalu kita berkabung untuknya. Wahai orang yang diterima, selamat dan sukses untuk kalian. Wahai orang yan tertolak? Allah telah memperbaiki musibah kalian.”
Inilah ucapan yang harus diungkapkan oleh seorang mukmin, sebagaimana yang juga biasa dikatakan oleh para sahabat nabi, "taqqabballohu minna wa minkum, semoga Allah menerima semua amal ibadah kita".