REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Jaringan Global Melawan Krisis Pangan (GNAFC) menyatakan, konflik, cuaca ekstrem, dan guncangan ekonomi meningkatkan jumlah orang yang menghadapi krisis pangan hingga seperlima menjadi 193 juta tahun lalu, Selasa (3/5/2022). Krisis pangan pun prospeknya akan memburuk tanpa tindakan segera dalam skala besar.
"Prospek ke depan tidak bagus. Jika lebih banyak tidak dilakukan untuk mendukung masyarakat pedesaan, skala kehancuran dalam hal kelaparan dan kehilangan mata pencaharian akan mengerikan," kata laporan GNAFC.
Lembaga yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa ini mengatakan dalam laporan tahunannya, bahwa kerawanan pangan hampir dua kali lipat dalam enam tahun sejak 2016 ketika mulai melacaknya.
"Tindakan kemanusiaan mendesak diperlukan dalam skala besar untuk mencegah hal itu terjadi," ujarnya.
Didefinisikan sebagai kekurangan pangan yang mengancam kehidupan, mata pencaharian, atau keduanya, kerawanan pangan akut pada tingkat krisis atau lebih buruk tumbuh sebesar 40 juta orang atau 20 persen tahun lalu. Laporan itu mengatakan, invasi Rusia ke Ukraina menimbulkan risiko serius bagi ketahanan pangan global, terutama di negara-negara krisis pangan termasuk Afghanistan, Ethiopia, Haiti, Somalia, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman.
Somalia mendapat lebih dari 90 persen gandumnya dari Rusia dan Ukraina, Republik Demokratik Kongo menerima 80 persen, sementara Madagaskar mengimpor 70 persen makanan pokok dari kedua negara pada 2021. "Negara-negara yang sudah menghadapi tingkat kelaparan akut yang tinggi sangat rentan terhadap (perang) karena ketergantungan mereka yang tinggi pada impor makanan dan kerentanan (mereka) terhadap guncangan harga pangan global," kata laporan itu.