Kamis 05 May 2022 00:51 WIB

Suhu Ekstrem Landa Asia Selatan, Dunia Diminta Segera Adaptasi Iklim

India dan Pakistan menjadi negara terakhir yang dilanda suhu panas mematikan.

Red: Dwi Murdaningsih
Seorang wanita memanen gandum di pinggiran Jammu, India, Kamis, 28 April 2022. Gelombang panas yang luar biasa awal dan memecahkan rekor di India telah mengurangi hasil gandum, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana negara akan menyeimbangkan kebutuhan domestiknya dengan ambisi untuk meningkatkan ekspor dan menutupi kekurangan akibat perang Rusia di Ukraina.
Foto: AP Photo/Channi Anand
Seorang wanita memanen gandum di pinggiran Jammu, India, Kamis, 28 April 2022. Gelombang panas yang luar biasa awal dan memecahkan rekor di India telah mengurangi hasil gandum, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana negara akan menyeimbangkan kebutuhan domestiknya dengan ambisi untuk meningkatkan ekspor dan menutupi kekurangan akibat perang Rusia di Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- India dan Pakistan menjadi negara terakhir yang dilanda suhu panas mematikan sepanjang 2022. Maraknya gelombang panas ekstrem di penjuru Bumi mewajibkan adaptasi iklim berkeadilan untuk lindungi ruang hidup yang tersisa.

Untuk kesekian kali tahun ini, India luruh diterpa gelombang panas ekstrem. Suhu udara, yang konstan melampaui 40 derajat Celcius di seluruh negeri. Suhu ini menempatkan jutaan jiwa dalam bahaya kesehatan, memicu kegagalan panen dan anjloknya produksi listrik.

Baca Juga

India tidak sendirian. Jirannya, Pakistan, juga kewalahan menghadapi gelombang panas terparah tahun ini. Padahal, musim panas belum akan tiba hingga Juni mendatang. 

Awal tahun ini, kawasan Amerika Tengah sempat mencatatkan diri sebagai daerah terpanas di muka Bumi, sebelum digantikan Australia Barat beberapa pekan kemudian.

Ketika krisis iklim menggandakan intensitas gelombang panas di seluruh dunia, sejumlah kawasan menghadapi ancaman eksistensial terhadap kelangsungan ruang hidup.

Kutukan ketimpangan 

Celakanya, solusi yang ada saat ini menyaratkan tingkat kemakmuran yang relatif tinggi untuk bisa beradaptasi dengan suhu yang kian ekstrem. Entah itu menambah konsumsi listrik untuk penyejuk udara, atau sekedar kemampuan untuk bekerja di dalam ruangan ber-AC, bukan merupakan opsi untuk banyak orang.

"Perubahan iklim adalah kisah ketimpangan tingkat tinggi dan kita sedang melihatnya mewabah di kawasan paling miskin dan paling panas di dunia,” kata Tamma Carleton, Asisten Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Kalifornia, Santa Barbara (UCSB). 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement