Militer Rusia melepaskan roket ke pabrik baja yang merupakan benteng pertahanan terakhir di kota pelabuhan Mariupol.
Puluhan pengungsi yang berhasil meninggalkan kota di bawah naungan PBB dan Palang Merah mendapat keamanan di Zaporizhzhia yang dikuasai Ukraina, pada hari Selasa (03/05). Sebelumnya, para pengungsi tersebut meringkuk selama berminggu-minggu di bunker di bawah pabrik baja Azovstal.
Pengungsi yang tampak lelah, termasuk anak-anak dan orang tua, turun dari bus setelah melarikan diri dari reruntuhan kota asal mereka di tenggara Ukraina. Rusia mengklaim memegang kendali kota tersebut.
"Kami pikir kami tidak akan selamat. Kami pikir tidak ada yang tahu kami bertahan di sana," kata Valentina Sytnykova, yang berusia 70 tahun. Dia menambahkan bahwa dirinya berlindung di pabrik itu selama dua bulan bersama putranya dan cucu perempuannya yang berusia 10 tahun.
Langkah besar karena UE sangat bergantung pada minyak Rusia
Rusia menargetkan Mariupol untuk memotong akses Ukraina dari Laut Hitam dan menghubungkan wilayah yang dikuasai Rusia di selatan dan timur. Bagian dari wilayah timur Donetsk dan Luhansk dikuasai oleh separatis yang didukung Rusia sebelum Presiden Vladimir Putin meluncurkan invasi 24 Februari.
Wali Kota Mariupol, Vadym Boichenko, mengatakan lebih dari 200 warga sipil tetap berada di pabrik, dan 100.000 warga sipil masih berada di kota.
"Ke mana saya harus pergi? Biarkan mereka meledakkan saya di sini," ujar seorang perempuan berusia 67 tahun kepada Reuters, sambil merebus air di atas api terbuka di tengah puing-puing blok apartemen yang hancur.
Rusia sekarang menghadapi sanksi-sanksi baru dari UE yang akan menargetkan bank dan industri minyaknya. Langkah ini disebut sebagai sanksi yang besar bagi negara-negara Eropa yang sangat bergantung pada energi Rusia.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen diperkirakan akan menguraikan sanksi baru yang diusulkan pada hari Rabu (04/05), termasuk larangan impor minyak Rusia pada akhir tahun ini.
Rusia tidak menunjukkan tanda-tanda mundur, setelah hampir 10 minggu melakukan apa yang mereka sebut sebagai "operasi militer khusus". Perang ini telah menewaskan ribuan orang, menghancurkan kota-kota dan mendorong lima juta orang Ukraina melarikan diri ke luar negeri.
Ekonomi Rusia sendiri senilai $1,8 triliun (Rp 17.349 triliun) sedang menuju kontraksi terbesarnya sejak tahun-tahun setelah pecahnya Uni Soviet pada 1991.
Serangan Rusia di kota-kota Ukraina
Pasukan Rusia telah mengarahkan senjata terberat mereka ke timur dan selatan Ukraina setelah gagal merebut ibu kota Kyiv, pada minggu-minggu awal perang.
Wali Kota Lviv mengatakan serangan rudal Rusia telah merusak jaringan listrik dan air di kota dekat perbatasan Polandia, di mana pasokan senjata Barat mengalir untuk militer Ukraina.
Kepala kereta api Ukraina, Olesksandr Kamyshin mengatakan pasukan Rusia juga menyerang enam stasiun kereta api di tengah dan barat Ukraina. Dia menambahkan tidak ada warga sipil yang mengalami luka.
Gubernur regional Pavlo Kyrylenko mengatakan serangan Rusia di Donetsk pada Selasa (03/05) menewaskan 21 warga sipil dan melukai 27 lainnya.
Serangan dan penembakan juga meningkat di Luhansk, dengan daerah yang paling terpukul adalah Popasna. Gubernur daerah Serhiy Haida mengatakan tidak mungkin untuk mengatur evakuasi.
"Tidak ada kota yang aman di wilayah Luhansk," katanya di layanan pesan Telegram.
Dalam pembaruan harian di zona konflik, intelijen militer Inggris mengatakan Rusia telah mengerahkan 22 kelompok taktis batalyon di dekat kota Izium di timur Ukraina dalam upaya untuk maju di sepanjang poros utara wilayah Donbas, dan menambahkan bahwa kemungkinan pasukan Rusia bermaksud untuk merebut kota Kramatorsk dan Severodonetsk.
Reuters belum dapat segera memverifikasi laporan tersebut.
Mariupol, sebuah kota berpenduduk 400.000 jiwa sebelum invasi, telah menyaksikan pertempuran paling berdarah, yang terjadi selama berminggu-minggu pengepungan dan penembakan.
Presiden Volodymyr Zelenskyy menuduh Rusia melanggar perjanjian untuk menghentikan pertempuran agar warga sipil dapat melarikan diri.
"Mereka masih berjuang. Mereka masih membombardir dan menembak," kata Zelenskiy melalui tautan video di acara Wall Street Journal. "Kami butuh bernapas."
pkp/vlz (reuters)