REPUBLIKA.CO.ID, BOGAWANTALAWA -- Perkebunan yang rimbun di Sri Lanka, Arulappan Ideijody cekatan memetik ujung setiap semak teh, melemparkannya ke atas bahu masuk dalam keranjang terbuka di punggungnya. Setelah sebulan memetik lebih dari 18 kg daun teh seperti itu setiap hari, dia dan suaminya, sesama pemetik daun teh Michael Colin hanya menerima menerima sekitar 30.000 rupee atau 80 dolar AS.
"Uang itu tidak dekat dengan kata cukup," kata Arulappan tentang penghasilan pasangan pemetik teh itu yang harus menghidupi tiga anak dan ibu mertuanya yang sudah lanjut usia.
"Dulu kami makan dua jenis sayuran, sekarang kami hanya mampu membeli satu," ujarnya.
Perempuan berusia 42 tahun ini adalah satu dari jutaan warga Sri Lanka yang terhuyung-huyung dari krisis ekonomi terburuk di pulau itu dalam beberapa dasawarsa. Pandemi Covid-19 memutuskan jalur kehidupan pariwisata negara Samudra Hindia yang sudah kekurangan pendapatan setelah pemotongan pajak yang tajam oleh pemerintah.
Pekerja perkebunan seperti Arulappan, yang sebagian besar berasal dari minoritas Tamil di pulau itu, terkena dampak lebih dari kebanyakan warga Sri Lanka lainnya. Mereka tidak memiliki tanah untuk menahan kenaikan harga pangan.
Sri Lanka pernah mencapai PDB dua kali lipat hampir dua kali lipat dari negara tetangga India pada 2020. Hasil tersebut didukung oleh industri pariwisata yang berkembang pesat dan ekspor barang-barang seperti garmen dan produk perkebunan seperti teh, karet, dan kayu manis.
Arulappan meninggalkan sekolah pada usia 14 tahun dan bekerja di pabrik garmen sebelum menikah dan pindah ke perkebunan di Bogawantalawa, sebuah lembah di dataran tinggi tengah yang terkenal dengan tehnya yang enak. Dia harus berkendara sekitar empat jam ke timur Kolombo, ibu kota komersial.
Jam kerja yang fleksibel memungkinkan Arulappan untuk merawat anak-anaknya dan memulai usaha kecil menjual sayuran kepada pekerja lain secara kredit. Namun, pandemi adalah kemunduran bagi keluarganya dan negara, menutup ekonomi selama berbulan-bulan dan memotong sektor pariwisata yang menjadi penghasil utama devisa.
"Ada hari-hari di mana kami hanya makan nasi," kata Arulappan.
Industri teh yang mendukung ratusan ribu orang juga menderita akibat keputusan pemerintah yang kontroversial tahun lalu. Sri Lanka melarang pupuk kimia sebagai tindakan kesehatan. Meskipun kemudian dibatalkan, larangan tersebut membuat pasokan pupuk menjadi terbatas.
Produksi teh kuartal pertama turun 15 persen pada tahun ini ke level terendah sejak 2009. Dewan Teh Sri Lanka mengatakan cuaca kering telah memakan korban semak-semak yang menerima pupuk yang tidak mencukupi setelah larangan tersebut.