REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menanggapi terkait Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko yang diduga menjurus pada muatan diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Menurutnya, rektor tersebut harus diberikan sanksi tegas dengan pencopotan jabatan rektor.
"Itu pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan. Apalagi ini dilakukan di institusi pendidikan tertinggi dan dilakukan oleh pimpinan tertinggi pula. Harus diberikan sanksi tegas dengan pencopotan jabatan rektor," katanya saat dihubungi Republika, Kamis (5/5).
Kata dia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) harus memproses Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko terkait perbuatannya. "Iya itu jelas. Harus diproses segera," ujar dia.
Menurutnya, Kemendibud harus memperhatikan hal ini. Jangan sampai terjadi lagi. Sebab, ini institusi pendidikan dan rektor sebagai contoh yang baik bukan malah diskriminasi.
"Rektor sebagai contoh untuk murid-muridnya. Hal ini harus diperhatikan. Jangan sampai rektor lain seperti ini lagi," kata dia.
Sebelumnya diketahui, terdapat tulisan Budi Santoso Purwokartiko yang kontroversial: "Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa".
"Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen".
"Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya".
"Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek".
"Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi".