Jumat 06 May 2022 10:01 WIB

Milisi Pro Pemerintah Libya Bantah Tuduhan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Milisi Stability Support Authority mengancam akan menggugat Amnesty.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Para migran yang ditahan duduk di depan pasukan keamanan setelah dikembalikan ke Libya menyusul upaya untuk menyeberangi Laut Mediterania, di Misrata, Libya, Minggu, 24 April 2022. Milisi Libya yang didukung pemerintah membantah tuduhan Amnesty International yang menyatakan mereka melakukan pembunuhan, penganiayaan dan kerja paksa.
Foto: AP Photo/Yousef Murad
Para migran yang ditahan duduk di depan pasukan keamanan setelah dikembalikan ke Libya menyusul upaya untuk menyeberangi Laut Mediterania, di Misrata, Libya, Minggu, 24 April 2022. Milisi Libya yang didukung pemerintah membantah tuduhan Amnesty International yang menyatakan mereka melakukan pembunuhan, penganiayaan dan kerja paksa.

REPUBLIKA.CO.ID, LIBYA -- Milisi Libya yang didukung pemerintah membantah tuduhan Amnesty International yang menyatakan mereka melakukan pembunuhan, penganiayaan dan kerja paksa. Milisi Stability Support Authority (SSA) mengancam akan menggugat Amnesty.

"(SSA) melakukan pembunuhan ilegal, penahanan paksa, intersepsi dan kerap menyiksa, kerja paksa, dan melanggar hak asasi manusia para imigran dan pengungsi yang ditahan dengan sewenang-wenang," kata Amnesty seperti dikutip dari Voice of America, Kamis (5/5/2022) waktu setempat.

Baca Juga

SSA mengatakan mereka "menegakan hukum Libya" dan meminta pertanggung jawaban anggotanya yang melakukan "tindakan ilegal". Kelompok itu menambahkan mereka "berhak menggugat Amnesty International atas pencemaran nama baik dan fitnah pada negara Libya dan lembaga resminya."

SSA didirikan mantan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj pada Januari 2021. Dipimpin salah satu orang paling berkuasa di Ibukota Tripoli, Abdel Ghani al-Kikli.

Amnesty mengatakan al-Kikli yang dikenal "Gheniwa" ditunjuk sebagai ketua kelompok itu. "Meski milisi di bawah komandonya memiliki sejarah melanggar hukum internasional dan hak asasi serius lainnya yang terdokumentasi dengan baik."

Libya jatuh dalam kekerasan tanpa hukum setelah Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendukung pemberontakan yang menjatuhkan diktator Moammar Gaddafi. Kelompok-kelompok bersenjata bersaing memperebutkan wilayah saat pemerintahan sementara datang dan pergi.

Banyak kelompok-kelompok itu yang terintegrasi dengan pemerintah. Sebagian untuk mengakses kekayaan minyak negara itu dan organisasi kemanusiaan kerap menuduh mereka melakukan pelanggaran hak asasi.

Libya kembali terpecah menjadi dua pemerintahan yang bersaing. Pada bulan Maret lalu penyidik PBB mengatakan pelanggaran hak asasi manusia serius termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Libya. Sementara tidak ada pihak yang dihukum.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement