REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Panut Mulyono menanggapi soal Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko yang diduga mengunggah tulisan bermuatan diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di media sosial. Menurut dia, sejauh ini Forum Rektor belum ada agenda membahas permasalahan tersebut.
"Terkait unggahan tersebut, Forum Rektor belum membahasnya. Sampai saat ini belum ada agenda khusus tentang hal tersebut," ujar Panut kepada Republika, Jumat (6/5/2022).
Dia mengatakan, Forum Rektor mengimbau pimpinan perguruan tinggi tidak mengunggah konten yang kontroversial serta menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Semestinya, pimpinan tinggi menyampaikan hal-hal yang positif serta membangkitkan optimisme dan semangat masyarakat untuk bangkit bersama menatap masa depan lebih cerah dalam keberagaman.
"Kami mengimbau agar pimpinan perguruan tinggi tidak mengunggah konten yang kontroversial dan menimbulkan pro-kontra di masyarakat," kata Panut yang juga rektor Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sebelumnya, terdapat tulisan Budi Santoso Purwokartiko yang kontroversial dan menyinggung agama tertentu. Berikut penggalan tulisan tersebut:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek.
Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.