"Kadang saya tidak sengaja melepas jilbab, tapi atasan memberi tahu saya untuk memakainya kembali. Laki-laki bebas memilih apa yang mereka mau, tapi perempuan tidak," kata Farzana (nama samaran) kepada DW.
Karyawan swasta berusia 22 tahun di Kota Shiraz, Iran, ini menggambarkan situasi tersebut ibarat punya "kehidupan ganda" di tempat kerja.
Di Iran, kewajiban pemakaian jilbab diberlakukan beberapa tahun setelah Revolusi Islam pada 1979. Di bawah undang-undang yang berlaku, perempuan harus menutupi rambut mereka dan mengenakan pakaian longgar di tempat umum, termasuk tempat kerja, di sekolah, dan universitas. Mandat tersebut ditegakkan oleh petugas penjaga moralitas.
Namun, kini terjadi peningkatan penolakan terhadap mandat hijab, khususnya di kalangan generasi muda dan di daerah perkotaan. Mereka yang menentang memandang peraturan ini sebagai alat paksaan politik yang mengontrol tubuh perempuan. Di Iran telah terjadi gelombang protes terhadap jilbab dalam beberapa tahun terakhir, seperti gerakan White Wednesdays.
Seiring tumbuhnya gerakan ini, bertambah juga tindakan keras terhadap mereka yang melanggar aturan. Sebuah universitas di ibu kota Teheran mengerahkan apa yang disebut sebagai penjaga moralitas di kampus. Mereka bertugas memastikan bahwa siswa mematuhi aturan hijab, menurut laporan penyiar Internasional Iran yang berbasis di London pada April lalu.
Semakin banyak perempuan seperti Farzana yang melanggar larangan tersebut di tempat kerja dan di tempat lain. Namun, beberapa perempuan mengatakan bahwa memberontak dan menolak aturan itu dapat merugikan karier mereka.
Kepatuhan berhijab bantu karier perempuan?
Mematuhi aturan jilbab berarti bahwa seorang perempuan dapat menghindari denda atau penangkapan. Selain itu, mengenakannya juga membawa manfaat lain bagi karier si perempuan tadi.
"Jika Anda berjilbab dengan benar, Anda dapat bekerja di industri ini dan mendapatkan uang karena pemerintah menghargai hal ini dan mengalokasikan anggaran," Anna Amir, pembuat film dokumenter asal Iran, mengatakan kepada DW.
Perempuan Iran lainnya, berusia 26 tahun, yang meminta namanya dirahasiakan, menjelaskan bahwa jilbab yang benar adalah prioritas utama.
"Di Iran, yang mereka pedulikan hanyalah jilbab Anda ... Anda bisa menjadi mahasiswa top di universitas, tetapi Anda bisa dilarang karena (tidak mengenakan) jilbab," ujar perempuan itu. Dia menambahkan bahwa bekerja dengan kondisi ini, baginya, mengubah tempat kerja ibarat "penjara".
Claudia Yaghoobi, Associate Professor dan Direktur Studi Persia di University of North Carolina-Chapel Hill, membenarkan cerita para perempuan ini. Mereka yang berjilbab "dengan benar" dapat memiliki peluang kerja dengan manfaat besar, ujar Yaghoobi kepada DW.
Penegakannya tergantung waktu
Waktu bisa berperan dalam pentingnya berjilbab atau tidak, termasuk di tempat kerja. Selalu ada fluktuasi yang bermotif politik dalam tingkat kerasnya penindakan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada fokus baru terkait perdebatan tentang wajib hijab.
Saat pemerintah berfokus pada kebijakan lain, penjaga moralitas menjadi lemah dan karena itu mengabaikan jilbab yang "tidak pantas", ungkap Yaghoobi. "Di lain waktu, jenis penindakan bisa menyerupai tindakan kemiliteran yang lebih ketat."
Namun, jenis tempat kerja juga menjadi faktor karena kepatuhan terhadap aturan wajib hijab yang lebih ketat ada di sektor publik.
Menurut Kourosh Ziabari, koresponden Iran untuk Asia Times, ada mandat pemakaian cadar yang "lebih ketat di departemen pemerintah."
Mandat pemakaian cadar
Sementara jilbab dapat membantu kelancaran karier, pembuat film Anna Amir mengatakan dia menolak manuver untuk "melisensikan" tubuh perempuan. Ia pun terus bekerja tanpa dukungan pemerintah.
Kerugian lain dari mandat cadar mungkin kurang langsung. Yaghoobi memandang pengucilan perempuan sekuler dari tempat kerja memiliki dampak negatif karena mengurangi keragaman suara perempuan.
"Suara-suara perempuan tidak didengar," katanya. "Dari satu atau dua tahun lalu, buku anak-anak sekolah dasar hanya memuat gambar perempuan yang bercadar atau (fotonya) telah dihilangkan," katanya kepada DW.
Laporan Kesenjangan Gender Global 2021, yang diproduksi oleh Forum Ekonomi Dunia, menempatkan Iran di peringkat 150 dari 156 untuk kesetaraan gender, termasuk kesetaraan dalam partisipasi ekonomi.
Apakah perempuan Iran dukung wajib hijab?
Sebuah laporan tahun 2021 yang diterbitkan oleh pemerintah Iran menunjukkan perpecahan, hampir 50:50 di antara mereka yang mendukung dan menentang wajib hijab ini. Perempuan dari kalangan yang lebih tua diyakini lebih mendukung amanat hijab dibandingkan generasi muda.
"Mereka berpakaian konservatif dan menganggap itu sebagai prinsip Islam mereka ... Mereka mendukung prinsip-prinsip ini di tempat kerja dan menuntut pemerintah untuk memperkuat aturan jilbab karena penyelewengan terhadapnya dapat mempromosikan tindakan amoralitas di masyarakat," kata Kourosh Ziabari.
DW menghubungi faksi pendukung wajib hijab di Iran, juga ke lembaga penyiar yang dikelola negara, untuk meminta komentar mereka, tetapi tidak ada tanggapan hingga laporan ini diturunkan.
(ae/yf)