REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- China telah memilih pejabat karier bidang keamanan, John Lee, sebagai pemimpin baru Hong Kong. Hal ini dinilai sebagai puncak dari transformasi politik di pusat keuangan Asia itu dan menegaskan kendali Beijing.
John Lee yang mantan orang nomor 2 di Hong Kong menjadi satu-satunya kandidat Pemimpin Kota. Lebih dari setengah 1.500 anggota Komite Pemilihan mendukungnya dan ia hanya perlu lebih sedikit dari mayoritas untuk menang.
Di hadapan pendukungnya Lee mengakui Hong Kong sedang dalam masalah. Ia menegaskan kembali niatnya untuk menggunakan pendekatan "yang berorientasi hasil".
"Hong Kong harus memanfaatkan peluang, kami tidak mampu untuk menunggu, kami tidak bisa terlambat, kami harus mengkonsolidasi Hong Kong sebagai kota internasional, membangun potensi Hong Kong sebagai masyarakat yang bebas dan terbuka, untuk terhubung dengan Cina Daratan dan dunia," kata mantan perwira polisi tersebut, dilansir dari AP, Jumat (6/5/2022).
Lee akan menggantikan Carrie Lam pada 1 Juli mendatang. Selama lima tahun di bawah pemerintahannya, Hong Kong mengalami masa yang paling bergejolak sejak Inggris menyerahkan koloninya ke Cina pada tahun 1997.
Pemilihan ini digelar mengikuti perubahan peraturan pemilu yang ditetapkan tahun lalu. Beijing ingin memastikan agar hanya orang-orang yang mereka sebut "patriot" yang dapat menduduki jabatan pemerintah. Cina juga membersihkan legislasi dari suara-suara oposisi.
Cina berusaha membungkus demokrasi dengan peraturan hasil pemilu yang rumit yang sebenarnya sudah ditentukan hasilnya. Walaupun surat suara mereka rahasia tapi pemilik hak suara Hong Kong telah diseleksi dengan cermat.
"Bahkan otokrasi saat ini merasa wajib untuk mengadakan pemilihan bohongan untuk memproyeksikan legitimasi mereka pada populasi dan masyarakat internasional," kata profesor U.S. Naval War College yang banyak menulis politik Hong Kong, Yvonne Chiu.
Empat pemimpin kota Hong Kong sebelumnya juga ditunjuk Beijing. Upaya warga kota untuk dapat memilih pemimpinnya sendiri pada tahun 2014 kandas.
Lee semakin terkenal selama unjuk rasa pro-demokrasi pada tahun 2019. Demonstrasi kerap berakhir dengan kerusuhan. Sebagai sekretaris keamanan kota ia memimpin operasi untuk menghadapi pengunjuk rasa dengan gas air mata dan peluru karet. Ia kemudian banyak menangkap demonstran.
Lam yang mengikuti perintah Beijing menjadi wajah dari tindakan keras pemerintah pada demonstran. Tapi birokrat karir itu masih dianggap tidak sejalan dengan Presiden Xi Jinping.
Beijing pun memilih Lee, mantan perwira polisi dan pendukung penuh Undang-undang Keamanan Nasional yang baru. Di mana pihak berwenang dapat menghukum orang yang dianggap melakukan subversi, suksesi, teroris dan kolusi dengan pasukan asing. Lebih dari 150 aktivis ditangkap berdasarkan undang-undang tersebut.