REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Seringkali rasa ikhlas dan memaafkan hanya terucap di bibir. Sebab, untuk benar-benar memaafkan dan ikhlas menerimanya masih sulit dilakukan bagi sebagian orang.
"Ini mungkin kendala kita semua, mudah mengucapkannya dibandingkan menjalaninya," ujar Dokter spesialis kedokteran jiwa di Universitas Airlangga Hospital di Surabaya Brihastami Sawitri saat berbicara di konferensi virtual bertema Ikhlas dan Memaafkan di Hari yang Suci, ditulis Senin (9/5/2022).
Ia menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan mengapa perasaan ini bisa terjadi. Di antaranya secara sadar belum ingin memaafkan secara keseluruhan. Artinya, belum berkomitmen untuk sepenuhnya memaafkan. Selain itu, dia melanjutkan, setiap orang punya stressor yang unik.
"Rasa ini (sulit memaafkan) tergantung orang yang melakukan kesalahan, kalau orang yang kita percaya, hormati, sayangi. Dampaknya mungkin lebih berat dibandingkan jika tidak terlalu dekat," katanya.
Tak hanya itu, ia menyebutkan faktor biologis yakni senyawa kimia di otak yang berpikir jadi sulit untuk memaafkan dan ikhlas menerima.
Sebenarnya, dia melanjutkan, memaafkan atau mengikhlaskan bukanlah hasil. Ia menambahkan, perasaan ini merupakan proses. Bisa jadi perasaan ini muncul yaitu seiring dengan berjalannya waktu mengurangi muatan emosional atas hal-hal yang tidak baik, baik yang disebabkan oleh orang lain atau mungkin memaafkan diri sendiri. Kemudian, bisa memutuskan untuk memaafkan, mengikhlaskan. Seiring dengan berjalannya waktu, setelah terjadi muatan emosi kemudian akhirnya menerimanya.
"Sehingga, proses menerima dan ikhlas bukan berarti melupakan. Karena memaafkan tidak berarti amnesia, tetap ingat tetapi tidak diikuti oleh muatan emosi negatif karena belum memaafkan," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, memaafkan bagus untuk kesehatan jiwa.
Ia menyebutkan ada penelitian orang mudah memaafkan atau mengikhlaskan yang ternyata ini erkait dengan kesehatan jantung yang lebih baik, hingga imunitas tubuh terhadap penyakit yang lebih baik.