REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat di Shanghai memanfaatkan blockchain untuk merekam dan mengabadikan masa-masa lockdown COVID-19 yang telah berlangsung selama satu bulan lamanya di kota itu. Mereka menciptakan video, foto, hingga karya seni dalam bentuk Non Fungible Token (NFT) agar mereka bisa menggambarkan masa-masa berat di Negeri Tirai Bambu.
Dengan NFT, mereka bisa terhindar dari penyensoran dan penghapusan konten oleh otoritas setempat. Seperti dilaporkan Reuters, ketatnya lockdown menyebabkan mereka tidak dapat meninggalkan rumah mereka selama berminggu-minggu.
Sebanyak 25 juta penduduk di Shanghai telah melepaskan rasa frustrasi mereka secara daring, melampiaskan emosi memuncak akibat kesulitan mendapatkan logistik hingga layanan kesehatan yang layak selama masa lockdown. Layaknya "kucing dan tikus" bermain, hal itu yang kini dirasakan masyarakat dengan Pemerintah China yang dalam masa lockdown saat itu menegaskan akan meningkatkan pengawasan internet dan obrolan grup mengenai masalah lockdown.
Tim sensor itu memburu masyarakat yang dinilai menyebarkan rumor dan memicu perselisihan agar publik bereaksi keras terhadap lockdown. Konten- konten yang menggambarkan parahnya kondisi lockdown di Shanghai akhirnya mendorong pegiat konten kreatif beralih ke pasar NFT seperti OpenSea.
Peralihan itu didasarkan pada fakta bahwa NFT akan terekam di blockchain dan tentunya tidak dapat dihapus. Puncak momen lockdown Shanghai berakar pada 22 April, ketika warganet mereka berjuang melawan sensor semalaman untuk membagikan video enam menit berjudul "The Voice of April", sebuah montase suara yang direkam selama masa lockdown di Shanghai.
Pada hari Senin (2/5/2022), diketahui ada 786 item berbeda yang terkait dengan video tersebut dapat ditemukan di OpenSea, bersama ratusan NFT lainnya terkait dengan lockdown di Shanghai. Nampaknya tren itu bermula dari seorang pengguna Twitter China dengan nama imFong mengunggah cuitan yang di-retweet secara luas.
"Saya telah mencetak video 'Voice of April' menjadi NFT dan telah membekukan metadatanya. Video ini akan ada selamanya di IPFS," katanya.
Seperti kebanyakan media sosial dan platform berita asing utama, Twitter diblokir di China, meskipun penduduk dapat mengaksesnya menggunakan VPN. Cuitan yang diunggah pada 23 April itu pun akhirnya memulai gerakan NFT itu sebagai gerakan rakyat mengeluarkan segala unek-uneknya yang dibendung Pemerintah.
Konten dari Shanghai lainnya yang tersedia di OpenSea sebagai NFT untuk dijual itu termasuk unggahan-unggahan di Weibo yang berisi keluhan tentang pembatasan, gambar dari dalam pusat karantina. Ada juga karya seni yang terinspirasi oleh kehidupan di bawah kondisi lockdown.
Misalnya seperti karya Simon Fong (49) seorang desainer lepas dari Malaysia yang telah tinggal di Shanghai selama sembilan tahun, ia membuat ilustrasi satir tentang kehidupan lockdown dengan gaya poster propaganda era Mao. Dia mulai mencetaknya menjadi NFT, mencoba-coba di pasar sejak akhir tahun lalu, dan sekarang berhasil menjual sembilan karyanya dengan harga rata-rata 0,1 eter (290 dolar AS).
Karyanya termasuk adegan yang mendramatisasi pengujian PCR, serta tuntutan penduduk akan jatah logistik dari pemerintah."Saya memilih gaya propaganda era Mao untuk karya-karya ini karena beberapa orang mengatakan bahwa situasi lockdownmembuat Shanghai mundur," kata Fong.
Lockdown yang terjadi di Shanghai telah berlangsung sejak Maret, dan menjadi pengucian terburuk sejak pandemi COVID-19 berlangsung di negara tersebut.