REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Malaysia mempertimbangkan untuk memotong pajak ekspornya atas minyak sawit. Malaysia juga berencana untuk memperlambat implementasi mandat biodieselnya guna membantu memenuhi permintaan global di tengah kekurangan minyak nabati, kata menteri komoditasnya kepada Reuters, Selasa (10/5/2022).
Menteri Industri dan Komoditas Perkebunan Zuraida Kamaruddin mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa kementeriannya telah mengusulkan pemotongan tersebut kepada kementerian keuangan, yang telah membentuk sebuah komite untuk melihat rinciannya."Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, dapat memotong pajak menjadi 4-6 persen dari saat ini 8 persen," katanya.
Pemotongan itu kemungkinan akan bersifat sementara dan keputusan dapat dibuat pada awal Juni, kata Zuraida."Dalam masa krisis ini, mungkin kita bisa sedikit melonggarkan agar lebih banyak minyak sawit yang bisa diekspor," katanya.
Malaysia sedang mencari untuk meningkatkan pangsa pasar minyak nabati setelah invasi Rusia ke Ukraina mengganggu pengiriman minyak bunga matahari dan langkah Indonesia untuk melarang ekspor minyak sawit semakin memperketat pasokan global.Minyak sawit - digunakan dalam segala hal mulai dari kue hingga deterjen - menyumbang hampir 60 persen dari pengiriman minyak nabati global dan tidak adanya produsen utama Indonesia telah mengguncang pasar.
Zuraida mengatakan kepada Reuters bahwa negara-negara pengimpor telah meminta Malaysia untuk mengurangi pajak ekspornya, dan beberapa - seperti India, Iran dan Bangladesh - mengusulkan perdagangan barter. "Malaysia juga akan memperlambat implementasi mandat biodiesel B30, yang mengharuskan sebagian biodiesel negara dicampur dengan 30 persen minyak sawit, untuk memprioritaskan pasokan ke industri makanan," katanya.