REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) masih menganggap Korps Garda Revolusi Iran sebagai kelompok teroris. Teheran diketahui telah menuntut Washington mencabut status 'teroris' pada pasukan revolusinya sebagai bagian dari proses pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
“Anda telah mendengar dari Menteri (Luar Negeri AS Antony Blinken) bahwa Garda Revolusi Iran telah melakukan serangan teroris. Jelas, kami prihatin dengan ancaman yang ditimbulkan Garda Revolusi Iran,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) AS Ned Price dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya, Selasa (10/5/2022).
Price menjelaskan, langkah-langkah yang sudah diambil Deplu AS membuktikan bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden bekerja untuk melawan ancaman Korps Garda Revolusi Iran. “Dari 107 sanksi yang dijatuhkan pemerintahan ini kepada Iran sejak Januari 2021, hingga saat ini, 86 di antaranya dikenakan pada Korps Garda Revolusi Iran atau afiliasinya,” ucapnya.
“Kami bekerja erat, menggunakan otoritas kami sendiri, juga dengan mitra di kawasan, untuk melawan Garda Revolusi Iran dan ancaman yang berpotensi ditimbulkannya terhadap personel kami serta mitra kami di kawasan juga,” kata Price menambahkan.
Kendati demikian, Price mengungkapkan, AS masih berharap mencapai kesepakatan dengan Iran untuk menghidupkan kembali JCPOA. Meski pembicaraan telah terhenti selama berminggu-minggu, Washington tetap menganggap pemulihan JCPOA sebagai kepentingan terbaiknya.
“Pada Mei 2022, kami terus percaya bahwa jika pembatasan yang diberlakukan oleh kesepakatan nuklir diberlakukan kembali pada Iran, program nuklir Iran akan dimasukkan kembali ke dalam kotak, waktu terobosan yang sekarang bertahan selama berminggu-minggu akan diperpanjang secara signifikan,” kata Price.
Dia menekankan, memulihkan JCPOA adalah salah satu cara mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir. AS sudah mendiskusikan rencana alternatif dengan para mitra dan sekutunya jika tidak ada kesepakatan tercapai. “Tidak pernah pasti, tidak pernah jelas bagi kami apakah kami dapat mencapai pengembalian bersama untuk kepatuhan, jadi kami selalu terlibat dalam perencanaan kontingensi dengan mitra kami,” ucap Price.
JCPOA terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.