REPUBLIKA.CO.ID, KINSHASA - Pemberontak membunuh sekurangnya 14 orang termasuk anak-anak dalam serangan di kamp pengungsi di Republik Demokratik Kongo (DRK), Selasa (10/5/2022) waktu setempat. Tragedi ini merupakan kekerasan terbaru di wilayah yang tengah dilanda konflik.
Juru Bicara militer Jules Ngongo Tsikudi mengatakan, bahwa pemberontak menyerbu sebuah pusat di luar kota Fataki di wilayah Djugu, provinsi Ituri timur. Pusat tersebut digunakan ratusan warga sipil untuk mencari perlindungan dalam beberapa bulan terakhir.
Serangan di Djugu juga dikonfirmasi oleh Kivu Security Tracker (KST), pemantau kekerasan yang dihormati di wilayah yang dilanda konflik. Pemimpin masyarakat sipil Dieudonne Lossa mencatat korban tewas sementara 15.
Pihaknya juga menyalahkan kelompok bersenjata yang dikenal sebagai CODECO (nama Koperasi untuk Pembangunan Kongo) yang dituduh melakukan serangan lain di lokasi penambangan rakyat terdekat. Serangan tersebut terjadi pada Ahad (8/5/2022) yang menewaskan sedikitnya 35 orang.
CODECO adalah sekte politik-keagamaan yang mengeklaim mewakili kepentingan kelompok etnis Lendu. Kelompok itu dianggap sebagai salah satu kelompok paling mematikan yang beroperasi di timur DRK yang disalahkan atas sejumlah pembataian etnis.
Kelompok ini adalah salah satu dari beberapa kelompok bersenjata, termasuk ISIS yang memperebutkan tanah dan sumber daya di timur Kongo yang kaya mineral. Konflik telah merenggut ribuan nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi selama dekade terakhir.
Presiden asosiasi kelompok masyarakat sipil di Djugu, Jules Tsuba mengatakan sebagian besar korban dalam serangan di kamp pengungsi adalah anak-anak. Ia menekankan bahwa jumlah korban tewas masih bersifat sementara.
"Mengejutkan melihat anak-anak dicincang dengan parang," katanya seperti dikutip laman Aljazirah, Rabu (11/5/2022).
Foto-foto menunjukkan anak-anak tergeletak di tanah, berlumuran darah. CODECO terkenal karena menargetkan warga sipil, menewaskan 18 orang di sebuah gereja bulan lalu dan 60 lainnya di kamp pengungsi pada Februari.
Disebut sebagai keadaan pengepungan di DRC, pemerintahan Ituri dan North Kivu yang dipimpin militer dan polisi mendapat kecaman karena ketidakefektifannya. Pasukan keamanan telah memerintah wilayah itu sejak Mei tahun lalu dan berharap untuk mengekang serangan, tetapi pembantaian sipil terus berlanjut.
Provinsi-provinsi tersebut diganggu oleh peningkatan jumlah serangan dari berbagai milisi, termasuk CODECO dan Pasukan Demokrat Sekutu (ADF), yang digambarkan oleh ISIS sebagai afiliasi lokalnya. Sekitar 2.500 warga sipil terbunuh antara Mei 2021 dan April 2022, menurut KST.
Presiden Felix Tshisekedi, di bawah tekanan dari wakil-wakil dari provinsi, telah memutuskan untuk meninjau efektivitas keadaan pengepungan. Amnesty International, dalam sebuah laporan yang dirilis pada Selasa (10/5/2022), mengatakan strategi tersebut telah menyebabkan pelanggaran daripada peningkatan keamanan.
"Otoritas militer dan polisi telah menggunakan kekuatan mereka di bawah keadaan terkepung untuk menindak siapa pun yang mereka anggap kritis, termasuk anggota parlemen dan aktivis hak asasi manusia," kata kelompok hak asasi itu. "Mereka terus menindas protes damai dan menjebloskan aktivis ke penjara," ujar Amnesti menambahkan.