REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam suatu peperangan, Sayyidina Ali Radhiyallahu Anhu terlibat perang tanding dengan salah seorang jawara kaum musyrik. Ali saat itu berhasil mengungguli dan menjatuhkan lawannya.
Namun, ketika Ali hendak membunuhnya, ia meludahi wajah Ali. Akhirnya, Ali membebaskan dan meninggalkannya. Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Ali dan bertanya,
“Mengapa engkau tidak membunuhku".
Ali menjawab, “Awalnya, aku ingin membunuhmu karena Allah. Namun, ketika engkau meludahiku, aku pun marah. Karena pengaruh nafsu telah menodai keikhlasanku, aku pun tidak jadi membunuhmu.”
“Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu sehingga engkau segera membunuhku. Jika agamamu begitu suci dan tulus, sudah pasti ia adalah agama yang benar,” ujar orang musyrik itu.
Kisah ini diceritakan ulama asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi dalam bukunya yang berjudul “Risalah Ikhlas dan Ukhuwah” terbitan Risalah Nur Press. Nursi juga menceritakan peristiwa penuh ibrah lainnya.
Dalam peristiwa yang lain, menurut Nursi, seorang penguasa yang adil memecat seorang hakim ketika melihatnya marah saat melakukan eksekusi potong tangan terhadap pencuri. Jika hakim itu memotong tangan pencuri demi tegaknya syariat dan hukum Ilahi, maka ia seharusnya menunjukkan rasa kasihan terhadapnya dan memotong tangannya tanpa menunjukkan kemarahan dan kasih sayang.
"Karena nafsu mempunyai andil dalam keputusan tersebut, sementara nafsu menafikan kemurnian keadilan, sang hakim pun dicopot dari jabatannya," jelas Nursi.