Jumat 13 May 2022 13:18 WIB

Dua Petinggi Twitter Dipecat Jelang Pengambilalihan Elon Musk

Dua petinggi Twitter diminta mengundurkan diri oleh CEO Twitter Parag Agrawal.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Logo Twitter.
Foto: AP Photo/Matt Rourke
Logo Twitter.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejak CEO Tesla Elon Musk menyetujui membeli Twitter, dua petinggi Twitter meninggalkan perusahaan media sosial. Mulai pekan ini, perusahaan juga telah menghentikan sebagian besar perekrutan, kecuali untuk posisi penting bisnis. Langkah tersebut dilakukan saat Musk bergerak maju dengan pengambilalihan platform senilai 44 miliar dolar AS.

“Kami menarik kembali biaya non-tenaga kerja untuk memastikan kami bertanggung jawab dan efisien," kata juru bicara Twitter.

Baca Juga

Dua petinggi Twitter, Kayvon Beykpour yang memimpin konsumen dan Bruce Falck yang mengawasi pendapatan, pada Kamis (12/5/2022) mengabarkan hengkangnya mereka dari perusahaan bukan keputusan mereka.

Beykpour mengaku dia sedang menjalani cuti ayah dan kecewa saat diminta pergi oleh CEO Twitter Parag Agrawal. Menurut dia, Parag ingin membawa timnya ke arah baru. Sementara Falck mengumumkan kabar pemecatan tersebut di Twitter.

“Saya akan mengklarifikasi bahwa saya juga dipecat oleh Parag,” kata dia sebelum cuitannya dihapus.

Trump akan kembali?

Dilansir BBC, Jumat (13/5/2022), pekan ini, Musk mengatakan akan membatalkan larangan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dari Twitter jika tawaran pengambilalihannya berhasil. “Saya akan membatalkan larangan permanen tetapi saya belum memiliki Twitter jadi ini bukan hal yang pasti akan terjadi,” kata Musk.

Pada Kamis, dia kembali mengtweet, ada indikasi bahwa Trump akan kembali ke Twitter. “Meskipun saya pikir kandidat yang tidak memecah belah akan lebih baik pada tahun 2024, saya masih berpikir Trump harus dikembalikan ke Twitter,” ujarnya.

Trump telah mengatakan dia tidak ingin kembali ke Twitter karena akan fokus pada platform Truth Social miliknya. Dia dilarang dari Twitter secara permanen pada Januari 2021 karena risiko hasutan kekerasan lebih lanjut setelah penyerbuan US Capitol.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement