Jumat 13 May 2022 13:47 WIB

3 Catatan Penting Seputar Qadha atau Bayar Utang Puasa Ramadhan

Qadha puasa Ramadhan harus didahulukan dari ibadah sunnah

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi berpuasa Ramadhan. Qadha puasa Ramadhan harus didahulukan dari ibadah sunnah
Foto: Pixabay
Ilustrasi berpuasa Ramadhan. Qadha puasa Ramadhan harus didahulukan dari ibadah sunnah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagi kaum Muslim yang tidak dapat berpuasa Ramadhan karena uzur, terdapat beberapa catatan yang perlu untuk diperhatikan dalam melakukan qadha. 

Salah satunya yakni dengan bersegera melakukan qadha puasa Ramadhan.  Dikutip dari buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, berikut lima catatan qadha puasa Ramadhan yaitu sebagai berikut: 

Baca Juga

Pertama, qadha Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala:  

اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS Al Muminun ayat 61). 

Kedua, qadha puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan. 

Ketiga, tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Hal ini karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum ayat sebagai berikut:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..” (QS Al Baqarah ayat 185). 

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq tanpa sanad dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushannaf-nya, dengan sanad yang sahih).

Keempat, qadha puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. 

Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Subuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari. 

Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من لم يبيت نية الصيام “Barang siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR Abu Dawud, no 2454, Tirmidzi, no 730 An-Nasai, no 2333, dan Ibnu Majah no 1700).  

Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

دخلَ عليَّ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يومًا، فقالَ: هل عِندَكُم شيءٌ ؟، فقُلتُ: لا . قالَ : فإنِّي صائمٌ، ثمَّ مرَّ بي بعدَ ذلِكَ اليومِ وقد أُهْديَ إليَّ حَيسٌ فخبأتُ لهُ منهُ، وَكانَ يحبُّ الحيسَ، قالت: يا رسولَ اللَّهِ، إنَّهُ أُهْديَ لَنا حيسٌ ، فخبَّأتُ لَكَ منهُ، قالَ: أدنيهِ أما إنِّي قد أصبحتُ وأَنا صائمٌ فأَكَلَ منه

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurma, samin, dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya.” (HR Muslim, no 1154).

Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum awal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.”

Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim).

Kelima, ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha disertai dengan taubat.

Kafarat berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja.     

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement