REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Banyak orang beranggapan bahwa keseharian hidup seorang sufi itu identik dengan kemiskinan. Benarkah demikian? Apakah sufi itu memang tidak ada yang hidup dalam kekayaan?
Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa Rasulullah SAW sebetulnya adalah orang yang kaya. Terlebih nabi mempunyai posisi yang sangat tinggi yakni sebagai kepala negara.
Selain itu dalam setiap peperangan yang dimenangkan terdapat bagian Fai dan Ghanimah (harta orang kafir yang menjadi rampasan bagi umat Islam) bagi Nabi Muhammad SAW.
Bila ditelisik, Nabi Muhammad SAW merupakan orang paling kaya di zamannya. Akan tetapi, Prof Nasaruddin mengatakan bahwa kekayaan Nabi Muhammad SAW tidak terlihat.
Hal ini karena Rasulullah begitu memperoleh harta langsung didistribusikan kembali kepada umatnya. Justru Rasulullah SAW bila setelah tidur terlihat bekas tikar di punggungnya. Hal ini menunjukan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki kasur empuk atau pun ranjang yang mewah untuk tempatnya tidur.
Akan tetapi hal ini tidak serta merta mesti dipraktikkan juga oleh umatnya, sehingga seorang Muslim memberikan seluruh hartanya untuk kemaslahatan umat. "Apakah kita harus mencontoh kualitas nabi seperti itu? Saya kira juga itu sangat subjektif. Jadi tidak mesti harus mencontoh seluruh apa yang dilakukan nabi untuk diri kita. Tentu kita tidak sama (dengan nabi). Tidak semua yang dilakukan nabi dalam perbuatannya, perkataannya, harus serta merta kita lakukan. Ada penyesuaian-penyesuaian kondisi di mana kita hidup," kata Prof Nasaruddin dalam kajian virtual yang juga disiarkan Nasaruddin Umar Office pada Jumat (13/5/2022).
Prof Nasaruddin mencontohkan Nabi Muhammad SAW makan dengan menggunakan tiga jari. Sebab makanan yang dimakan adalah roti. Makan dengan menggunakan tiga jari sulit dilakukan ketika makanan yang dihidangkan berupa sayur mayur atau dengan kondisi lauk dan mangkuk yang panas sebagaimana makanan-makanan yang biasa terdapat di Indonesia atau wilayah lainnya pada masa ini.
Oleh karena itu, Prof Nasaruddin mengatakan jangan memaksakan satu kondisi yang berbeda dengan kondisinya Nabi SAW. Maka seorang Muslim harus proporsional dalam menjalani hidup.
"Tidak mesti harus kere (miskin) untuk menjadi the best Muslim. Sahabat Nabi, Utsman kaya itu tapi dia juga dijamin masuk surga," katanya.
Maka dari itu, menurut Prof Nasaruddin menjadi seorang sufi tidak mesti harus meninggalkan dunia. Bahkan menurut Prof Nasaruddin banyak ulama sufi terdahulu juga hidup dalam kekayaan.
Misalnya saja Imam Qusyairi seorang sufi di Abad Pertengahan yang tidak setuju bahwa sufi itu diidentikan dengan kefakiran. Persoalannya, menurut Prof Nasaruddin banyak masyarakat hanya mengenal tokoh-tokoh sufi yang memilih jalan hidupnya di tengah kemiskinan hartam. Padahal banyak tokoh sufi yang bisa dekat dengan Allah di tengah memiliki harta kekayaan.
"Bukankah yadul ulya khaira min yadi sufla (tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah). Umat tidak boleh miskin. Bagaimana bisa menjadi trend center, penentuan kecenderungan masa depan umat kalau kita sendiri miskin," katanya.