REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebanon mengadakan pemilihan umum pada Ahad (15/5/2022). Penyelenggaran pemilu dilakukan setelah berbulan-bulan ketidakpastian tentang pemilihan akan dilanjutkan atau dibatalkan.
Pemungutan suara terakhir terjadi pada 2018. Pada saat itu kelompok Syiah bersenjata lengkap Hizbullah dan sekutunya, termasuk Gerakan Patriotik Bebas (FPM) Presiden Michel Aoun memenangkan 71 dari 128 kursi parlemen. Hasil tersebut menarik Lebanon lebih dalam ke orbit Iran yang dipimpin Muslim Syiah, menandai pukulan terhadap pengaruh Arab Saudi yang dipimpin Muslim Sunni.
Hizbullah mengharapkan dalam pemilihan umum kali ini akan memberikan beberapa perubahan dari susunan parlemen saat ini. Hanya saja lawan-lawannya, termasuk Pasukan Lebanon yang bersekutu dengan Saudi, kelompok Kristen lainnya mengatakan, mereka berharap untuk merebut kursi dari FPM.
Pemilihan kali ini mencatat ketidakpastian akibat boikot oleh pemimpin Sunni Saad al-Hariri. Tindakan itu telah meninggalkan kekosongan yang ingin diisi oleh sekutu dan lawan Hizbullah.
Para analis mengatakan Lebanon dapat menghadapi periode kelumpuhan yang akan menunda pemulihan ekonomi karena faksi-faksi saling bertukar portofolio dalam kabinet pembagian kekuasaan baru. Proses tersebut dapat memakan waktu berbulan-bulan.
Negara ini telah diguncang oleh krisis ekonomi yang oleh Bank Dunia dituduhkan akibat kelas penguasa. Ditambah lagi ledakan pelabuhan Beirut yang menghancurkan pada 2020. Para analis mengatakan kemarahan publik atas kedua masalah tersebut dapat mendorong beberapa kandidat yang berpikiran reformasi ke parlemen.