Ahad 15 May 2022 14:29 WIB

Menlu Rusia Tuduh Barat Deklarasikan Perang Hibrida

Menurut Rusia, perang hibrida akan membawa konsekuensi bagi semua pihak tanpa kecuali

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
 Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Sergey Lavrov mengatakan pada Sabtu (14/5/2022), Barat telah mendeklarasikan perang hibrida terhadap Rusia.
Foto: AP/Maxim Shemetov/Pool Reuters
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Sergey Lavrov mengatakan pada Sabtu (14/5/2022), Barat telah mendeklarasikan perang hibrida terhadap Rusia.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan pada Sabtu (14/5/2022), Barat telah mendeklarasikan perang hibrida terhadap Rusia. Tindakan tersebut menimbulkan konsekuensi yang akan dirasakan oleh semua orang tanpa kecuali.

Perang hibrida adalah perang yang melibatkan militer dan non militer. Lavrov pada pertemuan Dewan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan (SVOP) di Oblast Moskow mengatakan bahwa sulit untuk mengatakan berapa lama perang hibrida ini akan berlangsung.

Baca Juga

"Barat kolektif telah menyatakan perang hibrida total pada kami. Sulit untuk memprediksi berapa lama itu akan berlangsung, tetapi jelas bahwa semua orang akan merasakan konsekuensinya tanpa kecuali," katanya dikutip dari Anadolu Agency.

Lavrov mengungkapkan keterkejutannya melihat betapa mudahnya Barat mengabaikan nilai-nilai fundamental dan malah mengizinkan setiap tindakan bermusuhan terhadap Rusia, termasuk perampokan langsung. Namun, dengan melanggar norma hukum untuk menghukum Rusia, Barat menghancurkan dirinya sendiri dan reputasinya sebagai idola kebebasan dan demokrasi.

Menteri luar negeri itu menyatakan, negara-negara Barat telah menghilangkan kesan mitra yang dapat diandalkan melalui tindakan predator. Dia pun mengkritik upaya untuk merekrut diplomat Rusia di luar negeri, serta pengusiran massal.

Lavrov mengatakan tidak ada preseden seperti itu, bahkan selama Perang Dingin. Dia mengatakan bahwa tidak ada diplomat yang meninggalkan negaranya, meskipun upaya semacam itu dilakukan dari luar negeri, serta di dalam negeri.

Amerika Serikat (AS), menurut Lavrov, berada di balik semua tindakan anti-Rusia tersebut. Uni Eropa kehilangan kemerdekaannya dan menjadi embel-embel NATO, sedangkan AS melemahkan Eropa dan membebaskan pasarnya untuk barang-barang, teknologi, dan produk-produk teknis militer dari AS.

"Uni Eropa kehilangan tanda-tanda kemerdekaan, mengorbankan kualitas hidup orang Eropa dan kepentingan fundamental demi Amerika Serikat dan tatanan dunia unipolar yang dipromosikannya," kata Lavrov.

AS dinilai menjadi negara yang menyerang wilayah lain yang mampu menjalankan kebijakan independen. Menurut Lavrov, negara yang tidak setuju akan dihukum dan Moskow tidak akan diam saja dan memilih untuk melawan.

Lavrov mengharapkan NATO akan memperluas ambisinya ke kawasan Indo-Pasifik. Garis pertahanan berikutnya yang selama Perang Dingin ditarik di sepanjang tembok Berlin, akan bergeser di suatu tempat di wilayah Laut Cina Selatan. Aspirasi seperti itu dinilai menunjukkan bahwa NATO bukanlah aliansi defensif.

"Gagasan yang dipegang bahwa NATO, sebagai garda depan komunitas demokrasi, harus menggantikan PBB dalam masalah politik dunia, setidaknya menundukkan kebijakan ini untuk dirinya sendiri, dan pengelolaan ekonomi global harus dibawa ke Group of Seven (G7), dimana sewaktu-waktu para ahli statistik yang dibutuhkan Barat pada suatu saat akan diundang dengan senang hati," ujar Lavrov.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement