REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Jumlah keluarga Afghanistan yang pindah ke Iran meningkat selama beberapa waktu terakhir. Keputusan ini dilakukan menyusul kebijakan Taliban yang melarang anak perempuan untuk bersekolah.
Kepemimpinan Taliban disebut gagal memenuhi janjinya mengizinkan anak perempuan memulai kembali pendidikan mereka di sekolah, setelah penarikan militer Amerika Serikat.
Sebelum dan setelah Taliban kembali berkuasa, kelompok itu terus memberi tahu para gadis akan diizinkan bersekolah. Tetapi, ketika ribuan gadis dan remaja di seluruh negeri bersiap untuk kembali ke sekolah pada 23 Maret, keputusan itu dibatalkan.
Penjaga Taliban yang ditempatkan di luar sekolah melarang mereka masuk, membuat para siswi menangis saat mereka harus kembali ke rumah dengan buku di tangan.
"Mereka melihat gadis-gadis itu dan berkata, ‘Pulanglah. Bahkan belajar sebanyak ini sudah cukup untuk kalian semua',” kata seorang guru di provinsi barat Herat, Nilofar, dikutip di AhlulBayt News Agency (ABNA), Ahad (15/5/2022).
Menyusul keputusan Taliban, beberapa sumber di kota Mashhad di timur laut Iran, mengatakan pendaftaran di sekolah yang melayani pengungsi Afghanistan telah meningkat selama enam pekan terakhir, terutama untuk gadis-gadis muda.
Seorang kepala sekolah di salah satu sekolah tersebut mengatakan meski pendidikan mungkin bukan faktor utama yang menarik orang ke Iran, namun hal tersebut menjadi faktor yang signifikan.
Di Taliban, dia menyebut ada masalah besar dengan ketidakamanan dan ekonomi. Meskipun pendidikan bukan alasan nomor satu bagi keluarga ini untuk datang ke Iran, namun faktor tersebut masih menjadi hal yang diperhitungkan.
Kepala sekolah di sebuah sekolah non-pemerintah untuk pengungsi Afghanistan di Mashhad, Zainab Sajadi, mengatakan pendaftaran siswa tidak berdokumen telah meningkat sejak pengambilalihan Taliban musim panas lalu.
“Kami menerima ratusan mahasiswa baru. Ruang kelas kami benar-benar penuh. Kami tidak memiliki cukup kursi. Beberapa siswa berdiri di kelas, sementara yang lain harus berbagi kursi," ucap dia.
Dia menambahkan sekolah mulai mengadakan tiga shift kelas yang berbeda setiap hari, karena 60 persen muridnya adalah perempuan Afghanistan. Para guru bahkan melakukan pelajaran tambahan secara sukarela dan tanpa bayaran tambahan.
“Mereka adalah siswa paling cerdas di sekolah kami. Saya dapat melihat betapa mereka haus akan pendidikan. Bahkan jika kita terus mengajar tiga shift sehari dan mendaftarkan siswa, masih akan ada ribuan siswa lain yang tidak dapat bersekolah," lanjutnya.
Afghanistan berada dalam kekacauan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus tahun lalu, di tengah penarikan pasukan Amerika Serikat yang kacau dari negara yang dilanda perang itu.
Sejak itu, negara tersebut telah menjadi lokasi serangan teroris berulang. Beberapa di antaranya diklaim oleh kelompok teroris Daesh, dan menyebut Taliban gagal memberikan keamanan bagi warga Afghanistan.
Beberapa ledakan bom diketahui menargetkan sekolah-sekolah Afghanistan bulan lalu, menyebabkan puluhan siswa tewas atau terluka.
Sumber: abna 24