REPUBLIKA.CO.ID, Gempa bumi dengan magnitudo 9,1 yang berpusat di Samudera Hindia, terjadi beberapa hari sebelum pergantian tahun 2004. Gempa bumi ini pun memicu tsunami yang menelan korban jiwa ratusan ribu di beberapa negara yang berbatasan dengan perairan itu, salah satunya wilayah Aceh di Indonesia.
Indonesia menjadi negara dengan korban jiwa terbesar akibat hempasan tsunami setinggi 15-30 meter di pesisir Aceh dan wilayah sekitarnya. Lebih dari 200 ribu orang meninggal dunia dan hilang akibat peristiwa alam tersebut.
Tragedi tsunami yang memakan banyak korban jiwa itu tidak hanya mendorong kesadaran terkait penanggulangan bencana yang menjadi cikal bakal terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tetapi juga pentingnya mitigasi dan perencanaan menghadapi risiko bencana.
Hal itu penting mengingat posisi Indonesia yang berada di wilayah Cincin Api Pasifik, yang rawan bencana alam yang diakibatkan oleh gempa, tsunami dan gunung meletus. Langkah pencegahan untuk meminimalisasi jatuhnya korban jiwa sangat diperlukan termasuk di wilayah pesisir untuk menghadapi potensi risiko bencana tersebut.
Laporan yang dipublikasikan Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNDRR) Asia-Pasifik pada 2020 menyatakan, bahwa ekosistem mangrove dapat menjadi penyangga untuk menghadapi, mencegah dan mengurangi dampak bencana alam terhadap manusia dan infrastruktur.
Dalam laporan bertajuk Ecosystem-Based Disaster Risk Reduction, Implementing Nature-based Solutions for Resilience, disebutkan bahwa ekosistem di pesisir seperti mangrove memberikan perlindungan dari badai, banjir dan tsunami. Mangrove dapat menurunkan dampak karena menjadi pelindung dari hantaman gelombang laut dan meningkatnya permukaan air laut dengan sistem akarnya yang kokoh mampu melindungi ekosistem pesisir dari erosi.
Terkait tsunami, studi yang dirilis di jurnal Science pada 2005 memperlihatkan bahwa area yang memiliki perlindungan dalam bentuk ekosistem hutan pesisir seperti mangrove menerima dampak tsunami yang lebih kecil dibandingkan area yang tidak memiliki vegetasi pelindung.
Pentingnya mangrove sebagai salah satu faktor kunci menghadapi bencana alam di daerah pesisir itu juga ditekankan oleh Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman.
Ilman menjelaskan, bahwa mangrove telah terbukti berperan dalam upaya mitigasi dan mengurangi dampak bencana alam di pesisir. Dia memberi, contoh tsunami pada 2004, wilayah di Aceh dengan mangrove atau hutan pantai yang relatif asri memiliki tingkat kerusakan yang lebih kecil jika dibandingkan wilayah lain di provinsi itu yang tidak memiliki "perisai" hijau tersebut.
"Relevan sekali kalau dilakukan restorasi mangrove sesegera mungkin, jangan ditunda lagi, untuk melindungi pesisir Indonesia dari bencana," katanya.