Senin 16 May 2022 12:41 WIB

Hasil Awal Pemilu Lebanon Bawa Pukulan Bagi Hizbullah di Parlemen

Partai Lebanese Forces mengatakan telah memperoleh sebagian jatah kursi dalam Pemilu.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Petugas pemilu menghitung surat suara tak lama setelah tempat pemungutan suara ditutup, di kota utara Tripoli, Lebanon, Minggu, 15 Mei 2022. Warga Lebanon memilih parlemen baru hari Minggu dengan latar belakang krisis ekonomi yang mengubah negara dan rendahnya ekspektasi bahwa pemilu akan secara signifikan mengubah lanskap politik.
Foto: AP Photo/Bilal Hussein
Petugas pemilu menghitung surat suara tak lama setelah tempat pemungutan suara ditutup, di kota utara Tripoli, Lebanon, Minggu, 15 Mei 2022. Warga Lebanon memilih parlemen baru hari Minggu dengan latar belakang krisis ekonomi yang mengubah negara dan rendahnya ekspektasi bahwa pemilu akan secara signifikan mengubah lanskap politik.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Hasil awal pemilihan anggota parlemen Lebanon menunjukan perolehan yang mengecewakan bagi Hizbullah yang berkuasa. Partai yang bersekutu dengan Arab Saudi, Lebanese Forces (LF), mengatakan telah memperoleh sebagian jatah kursi dalam pemilihan umum kali ini, sedangkan calon independen pun mendapatkan perhatian.

Dengan suara yang masih dihitung, susunan akhir dari 128 anggota parlemen belum muncul untuk periode saat ini. Namun, pemilihan yang berlangsung Ahad (15/5/2022) sudah memberikan kekecewaan bagi kelompok yang berkuasa. 

Baca Juga

Kelompok Muslim Syiah dan sekutunya memenangkan mayoritas 71 kursi ketika Lebanon terakhir memberikan suara pada 2018. Kali ini, salah satu kekecewaan yang paling mengejutkan adalah melihat kekalahan politisi Druze sekutu Hizbullah Talal Arslan. 

Keturunan dari salah satu dinasti politik tertua Lebanon yang pertama kali terpilih pada 1992 ini telah kehilangan kursinya saat melawan Mark Daou. Daou merupakan seorang pendatang baru yang menjalankan agenda reformasi.

Hasil awal juga menunjukkan kemenangan bagi sedikitnya lima orang independen lainnya yang telah menekankan kampanye reformasi. Mereka mendorong agenda mempertanggungjawabkan politisi yang dipersalahkan karena mengarahkan Lebanon ke dalam krisis terburuk sejak perang saudara 1975-1990.

Keuntungan yang dilaporkan oleh LF yang sangat menentang Hizbullah, berarti akan menyalip  Free Patriotic Movement (FPM) yang bersekutu dengan Hizbullah sebagai partai Kristen terbesar di parlemen. Menurut kepala kantor media LF Antoinette Geagea, LF memenangkan setidaknya 20 kursi, naik dari 15 pada 2018. Sedangkan, menurut kepala pemilihan FPM Sayed Younes, partai itu telah memenangkan hingga 16 kursi, turun dari 18 kursi pada 2018. 

FPM telah menjadi partai Kristen terbesar di parlemen sejak pendirinya, Presiden Michel Aoun, kembali dari pengasingan di Prancis pada 2005. Aoun dan pemimpin LF Samir Geagea adalah musuh perang saudara. LF yang didirikan sebagai milisi selama 15 tahun perang saudara di Lebanon telah berulang kali meminta Hizbullah untuk menyerahkan persenjataannya.

Selain itu, seorang kandidat oposisi Elias Jradi juga membuat terobosan di wilayah Lebanon selatan yang didominasi oleh Hizbullah. Menurut dua pejabat Hizbullah, dokter mata itu memenangkan kursi Kristen Ortodoks yang sebelumnya dipegang oleh Assad Hardan dari Syrian Socialist Nationalist Party yang merupakan sekutu dekat dan anggota parlemen Hizbullah sejak 1992.

"Ini adalah awal baru untuk selatan dan Lebanon secara keseluruhan," kata Jradi.

Direktur eksekutif Arab Reform Initiative Nadim Houry mengatakan hasil 14 atau 15 kursi akan menentukan mayoritas. "Anda akan memiliki dua blok yang saling bertentangan, di satu sisi Hizbullah dan sekutunya, dan di sisi lain Lebanese Forces dan sekutunya, dan di tengah suara-suara baru yang akan masuk," katanya.

"Ini jelas merupakan kerugian bagi FPM. Mereka mempertahankan sebuah blok tetapi mereka kehilangan banyak kursi dan penerima manfaat terbesar adalah Lebanese Forces. Samir Geagea telah muncul sebagai orang kuat Kristen yang baru," ujarnya.

Parlemen berikutnya harus mencalonkan seorang perdana menteri untuk membentuk kabinet, dalam proses yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Penundaan apa pun akan menghambat reformasi untuk mengatasi krisis dan membuka dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan negara-negara donor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement