Selasa 17 May 2022 11:45 WIB

BMKG: Suhu Panas di Indonesia Bukan Gelombang Panas Seperti di India

Masyarakat dihimbau menghindari kondisi dehidrasi dan tetap menjaga kesehatan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Suhu panas. Ilustrasi
Foto: pixabay
Suhu panas. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengamati suhu udara panas dirasakan di beberapa tempat di Sumatra dan Indonesia bagian selatan awal Mei 2022. Hal ini sempat menimbulkan kepanikan masyarakat karena dikaitkan dengan kejadian gelombang panas yang tengah terjadi di India.

Dari catatan data BMKG, pada periode tersebut setidaknya 2 hingga 8 stasiun cuaca BMKG melaporkan suhu udara maximum >35℃. Stasiun cuaca Kalimaru (Kaltim) dan Ciputat (Banten) bahkan mencatat suhu maksimum sekitar 36℃ berurutan beberapa hari.

Baca Juga

BMKG memastikan kejadian suhu panas di Indonesia tidaklah dikategorikan sebagai gelombang panas seperti di India karena tidak memenuhi definisi kejadian ekstrim meteorologis oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO) yaitu anomali lebih panas 5℃ dari rerata klimatologis suhu maksimum di suatu lokasi dan setidaknya sudah berlangsung dalam lima hari.

"Gelombang panas umumnya juga terjadi dalam cakupan yang luas yang diakibatkan oleh sirkulasi cuaca tertentu sehingga menimbulkan penumpukan massa udara panas," kata Plt Deputi Klimatologi BMKG Urip Haryoko dalam keterangan pers, Selasa (17/5/2022).

Haryoko menjelaskan meningkatnya suhu pada bulan Mei ini sebenarnya adalah hal wajar. Dalam analisis klimatologi, sebagian besar lokasi-lokasi pengamatan suhu udara di Indonesia menunjukkan dua puncak suhu maksimum, yaitu pada bulan April, Mei, dan September.

"Hal itu memang terdapat pengaruh dari posisi gerak semu matahari dan dominasi cuaca cerah awal atau puncak musim kemarau," ujar Haryoko.

Suhu maksimum sekitar 36℃ pun bukan merupakan suhu tertinggi yang pernah terjadi di Indonesia. Sebab rekor suhu tertinggi yang pernah terjadi adalah 40℃ di Larantuka (NTT) pada 5 September 2012 lalu. Namun, anomali suhu yang lebih panas dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Indonesia mengindikasikan faktor lain yang mengamplifikasi periode puncak suhu udara tersebut.

"Kondisi udara yang terasa panas dan tidak nyaman dapat disebabkan oleh suhu udara yang tinggi. Suhu udara tinggi terjadi pada udara yang kelembapannya tinggi maka akan terkesan 'sumuk', sedangkan bila udaranya kering (kelembaban rendah) maka akan terasa 'terik' dan membakar," ujar Haryoko.

Analisis iklim dasarian pada periode 1-10 Mei 2022 menunjukkan lebih hangatnya suhu muka laut di wilayah Samudera Hindia barat Sumatra dan Laut Jawa. Hal ini akan menambah suplai udara lembab akibat penguapan yang lebih intensif dari permukaan lautan.

Sementara itu, analisis sirkulasi angin menunjukkan adanya pusaran kembar di bagian utara dan selatan belahan bumi sebelah barat Sumatra sebagai manifestasi dari aktifnya gelombang atmosfer MJO (Madden Julian Oscillation) di area tersebut. Di sisi lain, di atas Pulau Kalimantan muncul vortex meskipun lebih lemah.

"Kondisi itu menyebabkan angin di atas sebagian wilayah Jawa dan Sumatra menjadi lemah dan cenderung stabil, sehingga udara yang lembab dan panas cenderung tertahan tidak bergerak ke mana-mana," jelas Haryoko.

Haryoko menerangkan kejadian suhu udara panas kali ini memang dipengaruhi oleh faktor klimatologis yang diamplifikasi dinamika atmosfer skala regional dan skala meso. Inilah yang menyebabkan udara terkesan menjadi 'lebih sumuk' dan kemudian menimbulkan pertanyaan bahkan keresahan (selain kegerahan) publik.

"Namun, BMKG sekali lagi meyakinkan kondisi ini bukanlah termasuk kondisi ekstrem yang membahayakan seperti gelombang panas, meskipun masyarakat tetap dihimbau untuk menghindari kondisi dehidrasi dan tetap menjaga kesehatan," imbau Haryoko.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement