REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mendesak pemerintah membuat peraturan pelaksana mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah sesuai perintah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan hukum pada putusan nomor 15/PUU-XX/2022. Menurutnya, regulasi yang ada saat ini tak cukup mengatur pengisian penjabat akibat penyerentakan pilkada 2024.
"Pemerintah pusat segera mengeluarkan regulasi terkait itu," ujar Armand saat dihubungi Republika, Selasa (17/5/2022).
Dia menjelaskan, penunjukan penjabat kepala daerah tak berhenti usai pelantikan lima penjabat gubernur untuk menggantikan kepala daerah definitif yang habis masa jabatannya pada Mei 2022. Pasalnya, sebanyak 101 daerah pada 2022 dan 170 daerah pada 2023 akan ditinggalkan kepala daerah definitif, mulai dari gubernur, bupati, dan wali kota karena berakhirnya masa jabatan mereka.
Penjabat memiliki masa jabatan selama satu tahun dapat diperpanjang dengan orang yang sama atau berbeda. Daerah akan dipimpin penjabat sampai terpilihnya kepala daerah definitif hasil pilkada serentak nasional 2024.
Dengan demikian, dari segi waktu pun, kepemimpinan penjabat kepala daerah akan lebih lama. Selain itu, alasan pengisian penjabat juga karena kepala daerah definitif berakhir masa jabatannya, sedangkan pilkada 2022 dan 2023 tidak digelar melainkan ditunda hingga 2024.
Sejauh ini, pengisian penjabat dilakukan dengan alasan kepala daerah definitif berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Terdapat ketentuan dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 bulan, presiden menetapkan penjabat gubernur dan menteri dalam negeri (mendagri) menetapkan penjabat bupati/wali kota.
Armand mengatakan, peraturan pelaksana khusus terkait pengangkatan penjabat di 271 daerah dibutuhkan untuk memastikan mekanismenya berjalan demokratis dan transparan. Pemerintah dapat menyodorkan nama-nama kandidat penjabat kepada publik untuk dapat menerima masukan dan penilaian.
Kemudian, menurut dia, kewenangan penjabat kepala daerah perlu dijabarkan secara hitam di atas putih melalui peraturan pelaksana. Dia mewanti-wanti jangan sampai relasi penjabat kepala daerah dengan DPRD, relasi penjabat dengan masyarakat, serta pengawasan pemerintah pusat tidak jelas karena persoalan kewenangan penjabat.
Usai pelantikan lima penjabat gubernur pada 12 Mei lalu, Mendagri Tito Karnavian sempat menyinggung mengenai larangan bagi penjabat kepala daerah. Namun, larangan yang diatur dalam Pasal 132A Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dalam konteks penjabat yang diangkat karena kepala daerah definitif mencalonkan diri di pilkada.
"Yang publik sekarang butuhkan itu yang terkait dengan konteks menuju 2024 ini, karena dari sisi waktunya berbeda, durasinya lama, dan itu kan sudah berakhir masa jabatannya," kata Armand.
Mekanisme monitoring dan evaluasi (monev) atas kinerja penjabat juga perlu dijabarkan secara detail melalui peraturan pelaksanana khusus tersebut. Dia mengatakan, mendagri hanya mengatakan kinerja penjabat akan dievaluasi setiap tiga bulan sekali, tetapi proses evaluasi belum disampaikan secara rinci.
"Siapa yang melakukan monev, kemudian siapa yang memberikan pertanggungjawaban, dan bagaimana implikasi terhadap dari hasil penilaian itu, itu yang belum clear sampai saat ini," tutur Armand.