Hasil penghitungan suara yang diumumkan Kementerian Dalam Negeri Lebanon Selasa (17/5), mencatatkan kekalahan bagi koalisi pemerintah yang mencakup Hizbullah. Dalam pemilu legislatif, Minggu (15/5) kemarin, mereka hanya mendapat 62 dari 65 kursi yang diperlukan untuk mencapai mayoritas.
Namun demikian, hasil pemilu ini juga tidak memperkuat kelompok oposisi, menyusul perolehan suara kandidat reformis yang mematahkan dominasi kedua blok politik di Beirut.
Setidaknya 13 kandidat independen, yang berasal dari gerakan demonstrasi anti-pemerintah 2019 silam, terpilih masuk ke parlemen. Bersama anggota independen lain, mereka berpeluang menjadi kekuatan penentu dalam pembentukan koalisi pemerintah.
Kemenangan bagi oposisi terutama dirayakan Partai Kekuatan Lebanon, yang kini merebut gelar partai Kristen terbesar dari Gerakan Patriotik Bebas pimpinan Michael Aoun yang sekutu Hizbullah.
Analis politik, Zad Majed mengatakan, krisis ekonomi akan menguntungkan kandidat reformis yang untuk pertamakalinya akan berjuang di dalam, bukan di luar parlemen.
"Hal ini akan menciptakan tekanan politik dan sosial bagi kaum reformis dan koalisi Kekuatan untuk Perubahan agar mau bekerjasama,” katanya merujuk pada julukan bagi gerakan anti-pemerintah 2019.
Namun pada saat yang sama, hilangnya kekuatan mayoritas di parlemen dikhawatirkan akan memperlambat proses politik yang dibutuhkan untuk mengakhiri krisis ekonomi.
Pupusnya dominasi Hizbullah
Kekalahan terbesar bagi Hizbullah dibukukan dua kandidat independen di wilayah selatan. Di sana, Elias Jradeh dan Firas Hamdan memenangkan kursi yang dikuasai Hizbullah dan koalisinya selama hampir tiga dekade.
Kelompok militan Syiah itu juga kehilangan sejumlah kandidat yang selama ini dikenal loyal kepada pemerintahan Bashar Assad di Suriah. Pada Senin (16/5) malam, sekelompok pemuda berkumpul di Lapangan Martir Beirut dan membakar bendera "tinju revolusi” khas Hizbullah.
Elektabilitas kelompok pro-Iran itu ikut tergerus oleh gerakan sekuler yang menolak kekuasaan partai-partai sektarian dan menuntut perubahan demokratis. Gerakan yang dipicu krisis ekonomi 2019 itu, memuncak pada insiden ledakan di pelabuhan Beirut, Agustus 2020 silam, yang menelanjangi praktik korupsi di pemerintahan.
Pemilu kali ini dipandang sebagai kesempatan terbesar bagi kaum reformis untuk mengupayakan perubahan politik.
Sistem politik Lebanon menetapkan jatah kursi bagi masing-masing mazhab umat beragama, antara lain Sunni, Syiah, Kristen Maronit, Druze dan Kristen Ortodoks Armenia atau Yunani. Sebab itu, keputusan politik membutuhkan konsensus lintas keyakinan.
Sami Nader, analis Levant Institute for Strategic Affairs mengatakan, warga Lebanon belum bisa berharap terlalu banyak pada hasil pemilu. "Hizbullah dan aliansi pro-Iran memang terpukul, tapi apakah hasil ini akan membuka jalan bagi perubahan di Lebanon? Saya ragu,” kata dia.
rzn/as (dpa,afp)