Rabu 18 May 2022 05:59 WIB

Ingin Gulingkan Pemerintahan Transisi, PM Bayangan Libya Diusir dari Tripoli

Fathi Bashagha membawa pasukan bersenjata memasuki ibu kota Tripoli

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Krisis Politik Libya
Krisis Politik Libya

Pertempuran antara kedua pasukan bersenjata meletus di ibu kota Libya sejak Selasa (17/5) subuh dan berlangsung selama setidaknya hingga pukul tujuh pagi, lapor koresponden AFP. Selang beberapa jam kemudian, rombongan dari timur itu dilaporkan menarik diri dari Tripoli, "demi melindungi keselamatan warga sipil,” tulis kantor Bashagha.

Libya saat ini dipimpin pemerintahan transisi di bawah Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. Namun mandatnya dianggap berakhir Desember silam, ketika dia gagal menepati tenggat akhir penyelenggaraan pemilu.

Hingga kini, pemerintah transisi di Tripoli belum mengumumkan tanggal baru kapan akan digelarnya pemilihan umum.

Sejak Februari silam, parlemen di timur Libya, yang dikuasai Jendral Khalifa Haftar, memilih Fathi Bashagha sebagai perdana menteri baru. Namun Dbeibah menolak mundur dan mengklaim hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan yang terpilih melalui pemilu.

Selasa (17/5), Bashagha akhirnya memasuki ibu kota dengan ditemani sejumlah menteri dan pasukan bersenjata, lengkap dengan kendaraan lapis baja. "Kedatangan perdana menteri di ibu kota Tripoli dimaksudkan untuk memulai masa jabatannya di sana,” menurut keterangan pers yang dirilis di Tobruk, markas parlemen kelompok timur.

Eskalasi di ibu kota

Pertempuran di Tripoli berpotensi menyeret Libya kembali ke jurang perang saudara. Media-media lokal melaporkan, pertempuran juga terjadi antara milisi-milisi bersenjata di Tripoli dan wilayah sekitar.

"Kami tiba di ibu kota dengan damai dan aman,” kata Bashagha dalam sebuah video. "Penyambutannya sangat baik,” imbuhnya tanpa membahas pertempuran yang berkecamuk di ibu kota.

Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) mengecam pertempuran antara kedua kelompok lantaran melibatkan "tembakan membabi-buta dan dugaan penggunaan senjata berat,” di wilayah pemukiman padat penduduk.

Menurut perjanjian damai yang dimediasi PBB, pemerintahan transisi Libya seharusnya menggelar pemilu pada Desember silam. Akibat penundaan pemilu, Bashagha kini diimbau untuk membentuk pemerintahan tandingan di kota Sirte yang dikuasai Jendral Khalifa Haftar.

Bersama Ketua Parlemen, Aguila Saleh, Bashagha bulan lalu mengumumkan pemadaman produksi minyak di wilayah timur, yang merupakan sumber pendapatan terbesar pemerintah di Tripoli. Penutupan itu disebutkan baru akan dibuka jika kedua pihak menyepakati kerangka bersama perihal belanja negara.

Perundingan soal dasar negara

Hingga Senin (16/5) kemarin, kedua pihak melanjutkan perundingan di ibu kota Mesir, Kairo, dalam putaran yang dimediasi PBB. Agenda utama perundingan yang dimulai Minggu (15/5) adalah amandemen konstitusi untuk mempercepat penyelenggaraan pemilu.

Sebanyak 12 anggota Majlis al-Nuwaab dari timur dan 11 penasehat pemerintahan di barat Libya terlibat dalam negosiasi tersebut, kata Abdullah Bilheg, juru bicara parlemen.

Putaran pertama yang digelar di Kairo bulan lalu gagal menghasilkan kata sepakat menyusul perbedaan dasar hukum.

Parlemen di timur dan pemerintahan transisi di barat secara umum meributkan tentang siapa yang berhak mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum.

Kedua pihak juga belum menemukan konsensus perihal batas kekuasaan presiden dan parlemen. Dikhawatirkan, kekuasaan presiden yang terlalu besar di negara dengan institusi demokrasi yang lemah itu akan kembali mengarah pada autoritarianisme seperti di masa lalu.

rzn/as (rtr,ap)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement