Rabu 18 May 2022 13:37 WIB

Angkat Penjabat Gubernur, Mendagri Dinilai tak Paham Konsep Putusan Peradilan

Feri Amsari menyebut, Mendagri Tito melantik lima penjabat gubernur tidak sah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Erik Purnama Putra
Pakar hukum tata negara Feri Amsari (kiri) saat mengikuti sidang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Pakar hukum tata negara Feri Amsari (kiri) saat mengikuti sidang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia Feri Amsari menilai, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal (Purn) Tito Karnavian tak paham konsep putusan peradilan. Hal itu berkaitan dengan pernyataan Tito yang mengatakan, pembentukan peraturan pelaksana khusus mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah hanya merupakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan amar putusan yang harus dilaksanakan.

"Kan Menteri Dalam Negeri membantah itu kan bukan di amar tapi di bagian pertimbangan, itu berarti Pak Menteri enggak paham konsep putusan peradilan," ujar Feri saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (17/5).

Dia menjelaskan, membaca putusan peradilan tidak hanya amar putusan, melainkan keseluruhan. Feri menuturkan, amar ialah pokok putusan dan pertimbangan merupakan bagian dari putusan itu sendiri.

Feri menerangkan, apabila di bagian pertimbangan MK ada perintah pembentukan peraturan pelaksana, maka mendagri seharusnya melaksanakan perintah itu. Pelaksanaannya tentu dengan menggunakan prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik dan kehati-hatian.

"Mestinya dia hati-hati dong, buat peraturan pelaksananya supaya tidak dianggap bertentangan dengan putusan MK. Ini kan tidak dilakukan. Seluruh putusan itu satu-kesatuan, kecuali dissenting opinion," kata Feri.

Pada 12 Mei 2022, Mendagri Tito melantik penjabat gubernur Banten, Gorontalo, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Feri menyebut, pengangkatan penjabat lima gubernur ini tidak sah lantaran pemerintah tidak menerbitkan peraturan turunannya.

"Karena itu ada konsekuensinya kalau pemerintah tidak membuat peraturan pelaksana, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 itu, kalau melanggar putusan peradilan, bertentangan dengan putusan peradilan, segala kebijakan dan tindakan yang menentang putusan peradilan itu harus dianggap tidak sah," kata Feri.

Perintah pembentukan peraturan pelaksana atau regulasi teknis yang khusus mengatur mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah sebagai tindak lanjut Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) secara eksplisit tertuang dalam pertimbangan MK pada putusan nomor 15/PUU-XX/2022.

Melalui peraturan pelaksana itu, MK ingin memastikan proses pengangkatan penjabat kepala daerah terukur dan jelas serta berlangsung demokratis, transparan, dan akuntabel. Sebelumnya, Mendagri Tito mengaku telah membaca putusan MK yang dimaksud.

Menurut dia, dalam putusan MK tidak ada frasa yang mewajibkan pemerintah membuat aturan turunan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. "Jadi frasa aturannya 'mempertimbangkan', bukan mewajibkan, beda. Kalau pemerintah mewajibkan nah itu kami harus buat peraturan pemerintahnya. Kalau mempertimbangkan kira-kira boleh Anda buat, boleh Anda tidak buat," ujar Tito usai pelantikan lima penjabat gubernur di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2022).

Tito mengatakan, frasa yang ada "agar pemerintah mempertimbangkan" membuat peraturan pelaksana tentang penunjukan penjabat kepala daerah, berada di pertimbangan MK, bukan dalam amar putusan. Pasalnya, putusan itu menguji materi aturan masa jabatan kepala daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement