Masyarakat Adat Dukung Pembangunan Ekowisata Labuan Bajo
Rep: Rahayu Subekti/ Red: Fernan Rahadi
Sebuah kapal wisata pinisi melintas di perairan dekat Dermaga Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (30/7/2021). | Foto: Antara/Muhammad Adimaja
REPUBLIKA.CO.ID, MANGGARAI BARAT -- Masyarakat adat Kampung Lancang, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat mendukung rencana pemerintah pusat melalui Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Khususnya terkait rencana pengembangan dan pembangunan ekowisata di kawasan Bowosie.
"Jika tanah ini dibangun untuk pariwisata justru kami dukung, karena itu milik pemerintah. Yang nantinya berimbas bagi kami warga Lancang dan Manggarai Barat umumnya. Sehingga anak-anak kami bisa kerja di sana nantinya," kata Tua Golo (Ketua Adat) Lancang, Theodorus Urus, Rabu (18/5/2022).
Theodorus menjelaskan masyarakat Lancang mendukung penuh rencana pemerintah untuk mengelola lokasi Bowosie. Hanya saja, dia menyesalkan pemerintah yang malah membiarkan adanya kelompok tertentu melakukan perambahan.
"Kami kesal karena lahan hutan dirusak oleh kelompok masyarakat yang bukan warga wilayah Nggorang ataupun golo Lancang,” ungkap Theodorus.
Theodorus menuturkan, pada 2018 sudah bertemu dengan mantan Bupati Manggarai Barat Gusti Dula dan menyatakan sikap terkait lahan hutan yang dirambah orang-orang. Namun, kata Theodorus, hingga saat ini pemerintah seakan kalah dengan para perambah.
Meskipun begitu, Theodorus memastikan masyarakat adat tidak keberatan bila BPOLBF yang menata hutan Bowosie. Hanya saja, Theodorus meminta BPOLBF bersosialisasi dahulu dengan masyarakat agar dapat menjelaskan terkait dampak baik dan dampak buruk akibat pembangunan di lahan hutan tersebut.
"Bukan berarti kita tidak mendukung soal pembangunan akan tetapi harus membawa dampak baik bagi masyarakat," tutur Theodorus.
Sementara itu, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi mengharapkan agar masyarakat mendukung program pemerintah. Khususnya rencana pemerintah dalam penataan kawasan Bowosie. "Sebagai kota pariwista, kita harus ciptakan situasi yang kondusif," ujar Edistasius.
Terkait polemik status lahan Bowosie saat ini, Edistasius mengatakan di dalam dokumen yang pemerintah miliki bahwa program IP4T itu sudah dilakukan inventarisasi. Pengusul sebanyak 250 orang setelah diverifikasi oleh tim yang komponennya ada Pemda, BPN dan KPH hanya tinggal 200 orang dengan total luas lahan itu kurang lebih 13,8 hektare.
Berdasar sejarah, secara ulayat kawasan Bowosie merupakan milik Ulayat Nggorang. Pada 1960, fungsionaris adat ulayat Nggorang menyerahkan kawasan Bowosie kepada tetua adat Lancang.
Lalu pada 1961, Raja Ngambut meminta kepada ulayat Nggorang untuk menyerahkan sebagian tanah tersebut kepada pemerintah. Sementara disisi lain, tanah yang dimintai Raja Ngambut telah diserahkan dan dikuasai oleh Kampung Lancang. Meskipun begitu hasil rembuk kampung Lancang dan Ulayat Nggorang, diputuskan bahwa sebagian tanah itu diserahkan kepada pemerintah.
Saat ini, BPOLBF tengah bersiap mengembangkan empat zona pengembangan ekowisata di lahan seluas 400 hektare Hutan Bowosie. Pengembangan area tersebut dilakukan untuk menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi di Labuan Bajo.
Pengembangan tersebut berdasar amanah Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada tahun 2019. Di dalamnya mengatur tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 hektare hutan Bowosie di Kabupaten Manggarai Barat.
Paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita. Sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.
Pengembangan kawasan pariwisata tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Diperkirakan akan menyerap 10 ribu tenaga kerja dan menyerap produk ekonomi kreatif, hasil pertanian dan peternakan masyarakat sekitar.