REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengecam aksi pengusiran dan pembakaran pakaian seorang perempuan berinisial N (28 tahun) yang diduga dilakukan oleh sekelompok warga Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tindakan yang dinilai 'main hakim sendiri' tersebut sempat viral di pemberitaan beberapa waktu lalu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun KemenPPPA, aksi pengusiran warga terhadap N tersebut dilakukan karena N merupakan perempuan yang diduga melakukan poliandri. Hal ini seharusnya tidak dijadikan alasan warga bisa menghakimi N.
Bintang merasa prihatin dan menyayangkan terjadinya aksi tersebut. "Semestinya sebagai warga negara yang baik dan memiliki aturan hukum, aksi main hakim sendiri tidak perlu dilakukan dengan alasan apapun. Justru dalam kejadian yang menimpa N ini perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Apapun alasannya, permasalahan sebab akibat menjadi syarat mutlak yang harus dilihat dalam kasus N ini,” kata Bintang dalam keterangannya pada Rabu (18/5).
Bintang menuturkan, aksi pembakaran pakaian dan pengusiran korban yang disertai dengan caci maki oleh warga tersebut, merupakan tindakan penghakiman atau 'main hakim sendiri'. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan perbuatan sewenang-wenang yang tidak berdasarkan pada hukum yang berlaku.
"Apapun kesalahan seseorang, upaya main hakim sendiri merupakan hal yang dilarang oleh hukum," ujar Bintang.
Jika melihat hukum yang berlaku, perbuatan warga desa setempat yang melakukan pengusiran dan pembakaran pakaian terhadap korban justru bisa saja dikenakan Pasal 406 KUHP tentang penghancuran atau perusakan barang. Yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
Selain Pasal 406 ayat (1) KUHP, dapat dikenakan Pasal 170 KUHP jika terbukti adanya kekerasan yang dilakukan bersama-sama (pengeroyokan). Pasal tersebut menyebutkan “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
Sementara itu, terkait Poliandri sendiri, disebutkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa negara menyatakan asas perkawinan Indonesia adalah monogami, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 1 yaitu “pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Meskipun dalam ayat (2) mengatur mengenai ketentuan poligami, yaitu “Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
"Sedangkan untuk ketentuan sebaliknya (terkait poliandri) tidak diatur dalam UU Perkawinan di Indonesia," ucap Bintang.
Bintang berharap masyarakat bisa lebih bijak untuk mendengarkan dan mengetahui terlebih dahulu alasan N melakukan poliandri secara diam–diam, entah itu karena N mengalami KDRT, faktor ekonomi, dan lain sebagainya.
"KemenPPPA akan mengawal kasus ini bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak," ucap Bintang.