REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tim penuntutan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Kejaksaan Agung (Kejakgung) menyatakan berkas perkara tersangka IS terkait peristiwa Paniai Berdarah 2014 lengkap, atau P-21. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana mengatakan, tim penuntutan segera menyusun dakwaan dan selanjutnya akan membawa kasus tersebut ke Pengadilan HAM.
“Bahwa perkara pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Paniai di Papua 2014, telah lengkap secara formil dan materil,” begitu kata Ketut dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Selanjutnya, dikatakan dia, tim penyidikan kasus tersebut, yakni Direktorat HAM Berat pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), segera melakukan pelimpahan alat-alat bukti, dan tanggung jawab tersangka IS, ke penuntut umum. Penyerahan tanggung jawab dan pelimpahan tersangka itu, kata Ketut selambatnya akan dilakukan sebelum Mei 2022 berakhir.
“Hal tersebut, guna menentukan apakah perkara tersebut sudah terpenuhi syarat-syarat untuk dapat, atau dilimpahkan ke pengadilan,” sambung Ketut.
Dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, penyidik pada Jampidsus, menetapkan IS sebagai tersangka tunggal, Jumat (1/4/2022). IS adalah anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat peristiwa Paniai Berdarah terjadi 2014 lalu.
Tersangka IS dituding bertanggungjawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Penyidik, juga menjerat tersangka IS, dengan sangkaan Pasal 40 juncto Pasal 9 huruf h, juncto Pasal 7 huruf b UU Pengadilan HAM. Pasal-pasal tersebut mengatur soal peran pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan, dan kejahatan terhadap kemanusian, serta mengatur soal komandan militer dalam pengendalian pasukan.
“Peristiwa pelangaran HAM yang berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan atau de facto berada di bawah kekuasaan pengendaliannya, serta tidak mencegah, atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pasukannya sebagai pelaku (pembunuhan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan),” begitu kata Ketut.
Pasal-pasal yang disangkakan kepada tersangka IS tersebut, serta mengatur soal ancaman penjara selam 20 tahun, atau paling ringan 10 tahun penjara. Direktur HAM Berat pada Jampidsus, Erryl Prima Putra Agoes mengatakan, kasus tersebut akan disidangkan di Pengadilan HAM di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
“Untuk persidangannya nanti di Pengadilan HAM di Makassar,” ujar Erryl kepada Republika.
Menurut dia, alasan sidang kasus tersebut digelar di Makassar, lantaran amanah UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. “Tidak semua di provinsi, ada Pengadilan HAM. Dan untuk yang di Papua, itu pengadilannya mengikuti pengadilan di Makassar,” kata Erryl menambahkan.
Kapan persidangan HAM tersebut akan digelar? Erryl mengatakan, saat ini tim di Jampidsus, masih terus melengkapi berkas perkara, dan penyusunan dakwaan, untuk segara dapat diajukan ke pengadilan.