REPUBLIKA.CO.ID, SIMEULUE - Ketika gempa dengan magnitudo 9,1 dan tsunami meluluhlantakkan Aceh sekitar 18 tahun silam, penghuni wilayah di ujung barat Indonesia itu umumnya tidak tahu soal tsunami dan dampaknya. Sebagian dari mereka justru berbondong-bondong mengambil ikan yang terdampar di bibir pantai semasa air laut surut sesaat setelah gempa.
Suara gemuruh yang terdengar sebelum air bah menerjang daratan ketika itu dikira suara pesawat, tidak dianggap sebagai pertanda bahaya, sehingga tidak ada yang berinisiatif untuk menjauhi daerah pantai. Penghuni wilayah itu umumnya baru bergerak menuju ke dataran yang tinggi setelah menyaksikan air laut menerjang dan memporak-porandakan daerah mereka. Korban jiwa pun kemudian berjatuhan.
Namun, tidak demikian yang terjadi di Pulau Simeulue dan gugusan pulau di sekitarnya. Meski gempa dan tsunami membuat rumah-rumah warga dan bangunan fasilitas publik di pulau itu hancur lebur sebagaimana yang terjadi di Aceh, tapi jumlah korban jiwa di pulau di sisi barat Aceh yang posisinya lebih dekat dengan pusat gempa itu tergolong tidak banyak.
Dalam catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Simeulue, warga Simeulue yang meninggal dunia saat gempa dan tsunami melanda tahun 2004 hanya enam orang dan mereka pun sebelumnya menderita strok dan penyakit jantung. Padahal kerusakan yang terjadi akibat bencana itu parah.
"Kalau kerusakan akibat gempa dan tsunami dulu Kabupaten Simeulue ini cukup parah. Banyak bangunan, rumah penduduk, serta fasilitas umum yang hancur akibat gempa dan tsunami tahun 2004 silam. Namun untuk korban jiwa cukup sedikit," kata Kepala BPBD Simeulue Zulfadli.
Korban jiwa akibat gempa dan tsunami di Simeulue tidak banyak karena umumnya warga sudah mengetahui tanda-tanda bencana sehingga bersegera menyelamatkan diri. Bahkan ada desa di kabupaten tersebut yang seluruh warganya meninggalkan desa dan pindah ke daerah yang berada jauh dari pinggir pantai.
Kemampuan mitigasi masyarakat Simeulue tidak lepas dari pengetahuan mereka mengenai linon dan smongatau gempa bumi dan tsunami, yang pernah melanda wilayah Simeulue 115 tahun silam, pada tahun 1907. Bencana yang merenggut banyak nyawa manusia dan hewan ternak itu diceritakan secara turun-temurun di daerah Simeulue, sehingga melekat di benak setiap individu di wilayah kepulauan yang dipisahkan dengan Pulau Sumatra oleh Samudera Hindia itu.