REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Tentara Israel mengusir penduduk Gaza yang bekerja di dalam kota-kota Israel. Mereka juga menolak akses mereka melintasi penyeberangan Erez/Beit Hanoun di Jalur Gaza utara. Untuk membenarkan tindakannya, Israel menerapkan situasi keamanan dan militer yang tegang dengan faksi-faksi Palestina di Jalur Gaza.
Setelah serangan mematikan Elad pada awal Mei, mayoritas pekerja Gaza pun diusir dari tempat kerja mereka di Israel. Isu warga Gaza yang bekerja di dalam wilayah Israel merupakan isu sensitif yang selalu dikaitkan dengan perkembangan situasi keamanan antara Gaza dan Israel saat ini, seperti dilansir Al-Monitor, Kamis (19/5/2022).
Usai perang terakhir di Jalur Gaza pada Mei 2021, Israel mengizinkan sejumlah kecil penduduk Gaza untuk bekerja di dalam wilayah Israel dalam sebuah langkah yang dikatakan bertujuan untuk meningkatkan mata pencaharian warga Palestina dan mengurangi ketegangan dengan mengurangi pembatasan ekonomi di Gaza.
Langkah tersebut, yang termasuk penerbitan 3.000 izin kerja tambahan, dilakukan sebagai bagian dari kesepahaman yang ditengahi oleh mediasi internasional antara kedua belah pihak. Pada Maret lalu, Israel mengumumkan peningkatan jumlah izin bagi pekerja Gaza menjadi 12 ribu untuk bekerja di berbagai profesi di dalam Israel.
Warga Gaza yang bekerja di dalam Israel mendapatkan lebih dari dua kali lipat upah yang ditawarkan di dalam kantong yang terkepung. Dengan demikian mereka membantu menjaga ekonomi Gaza tetap bertahan di tengah melonjaknya tingkat pengangguran.
Namun, pekerja Palestina di dalam Israel menghadapi pelanggaran hak-hak buruh sistemik. Ancaman terus-menerus memotong sumber mata pencaharian mereka berdasarkan perkembangan lapangan. Mereka juga menghadapi serangan berulang oleh pasukan tentara Israel dan pemukim.
Di sisi lain, Israel khawatir pekerja Palestina dapat direkrut oleh faksi-faksi perlawanan untuk melakukan serangan terhadap warga sipil Israel di dalam wilayahnya. Kekhawatiran Israel baru-baru ini meningkat mengingat peristiwa keamanan baru-baru ini di dalam wilayah Israel dan Palestina.
Mustafa Darwish, 53, seorang pekerja konstruksi dari Gaza yang bekerja di kota Ramla Israel, menceritakan kepada Al-Monitor bagaimana polisi Israel menangkapnya beberapa hari yang lalu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Dia ditangkap bersama dengan empat pekerja lainnya dari dalam tempat kerja mereka.
Dia mengatakan, polisi membawa mereka ke persimpangan Erez dan kemudian kembali ke Jalur Gaza dengan dalih bahwa kehadiran mereka menimbulkan bahaya bagi warga sipil Israel. Namun, otoritas Israel tidak mencabut izin kerja mereka.
Darwish membeberkan, tentara Israel dan warga sipil menganiaya para pekerja Gaza. Upah harian yang diterima para pekerja ini sekarang telah turun dibandingkan beberapa tahun yang lalu. "Beberapa pemilik proyek Israel sekarang lebih memilih pekerja asing, terutama Ukraina yang berimigrasi ke Israel (setelah perang Rusia dimulai)," katanya.
"Kita hidup dalam ketidakpastian. Sejak Israel mengizinkan masuknya pekerja Gaza hampir lima bulan lalu, telah berulang kali menolak mereka masuk melintasi persimpangan di tengah serangan roket dari Gaza dan operasi yang sedang berlangsung di dalam Israel. Kami juga dituduh dimanipulasi oleh faksi-faksi di Gaza," katanya.
Wajdi Salem, 47, seorang pekerja pertanian di salah satu pemukiman Israel di Gaza, mengatakan tentara Israel baru-baru ini mendeportasi dirinya ke Gaza. Ketika ia bertanya alasannya, hanya diberitahu bahwa sekarang situasinya berbahaya.
"Penduduk Gaza yang bekerja di Israel, secara umum, tidak berafiliasi dengan faksi politik atau militer apa pun. Mereka harus menjalani pemeriksaan latar belakang sebelum diberikan izin kerja. Tetapi Israel menggunakan kami sebagai alat tawar-menawar dengan faksi-faksi perlawanan untuk memastikan ketenangan dengan Gaza," ujarnya.