Kamis 19 May 2022 20:01 WIB

Sri Mulyani: Fed akan Naikkan Suku Bunga Hingga 3,5 Persen di Akhir 2022

Saat ini inflasi di AS masih berada di level yang sangat tinggi, yakni 8,4 persen.

Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Foto: Prayogi/Republika.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed akan terus meningkatkan suku bunga acuan sekitar 50 basis poin (bps) hingga 75 bps per bulannya hingga ke level 3,5 persen pada akhir tahun ini."Tapi itu mungkin bukan merupakan titik terakhir," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, Kamis (19/5/2022).

Menurut dia, kemungkinan tersebut seiring dengan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang mengatakan tak akan segan menaikkan suku bunga di atas netral agar inflasi mampu dikembalikan ke level dua persen. Sementara itu, saat ini inflasi di Negeri Paman Sam masih berada di level yang sangat tinggi, yakni 8,4 persen.

Baca Juga

Secara historis, Sri Mulyani menjelaskan tekanan inflasi tinggi di Negeri Paman Sam selalu direspons dengan kenaikan suku bunga acuan yang tinggi pula. Bahkan, kemungkinan akan diikuti dengan kontraksi balance sheet The Fed yang akan menyebabkan pengetatan likuiditas lebih dalam lagi.

Salah satu contohnya yakni pada tahun 1974 di mana inflasi AS mencapai 12,3 persen sehingga suku bunga acuan dinaikkan menjadi 13 persen, begitu pula pada 1980 saat inflasi melonjak menjadi 14,8 persen dan bunga acuan dinaikkan menjadi 20 persen.

Namun saat suku bunga acuan AS meningkat cukup tinggi, ia menuturkan biasanya pertumbuhan ekonomi di Negeri Adidaya cenderung menjadi negatif, bahkan terjadi resesi."Ini adalah yang disebut fenomena stagflasi dan merupakan risiko baru yang sangat kompleks," ungkap Sri Mulyani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement