Jumat 20 May 2022 10:33 WIB

UU PSDN untuk Pertahanan Dinilai Bisa Memicu Konflik Horisontal

Definisi ancaman dalam UU PSDN ini sangat luas dan tidak ada batasnya

Red: Joko Sadewo
FGD yang diselenggaran LBH Semarang dengan Imparsial dengan tema
Foto: istimewa/doc humas
FGD yang diselenggaran LBH Semarang dengan Imparsial dengan tema

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur LBH Semarang Eti Oktaviani  menilai  UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, cukup mengerikan. Penyebabnya, UU ini mengatur tentang komponen cadangan yang berpotensi membuat konflik horizontal seperti jaman Soeharto.

Jika dikupas secara detail, menurut Eti, ada sejumlah hal yang rentan. "Seperti definisi ancaman dalam UU PSDN ini sangat luas dan tidak ada batasnya, dapat ditafsirkan oleh mereka yang berkepentingan,” kata Eti dalam siaran pers, Jumat (20/5/2022).

Pernyataan ini disampaikan Eti Oktaviani  pada FGD yang diselenggaran LBH Semarang dengan Imparsial dengan tema "Darurat Militerisasi Sipil: Telaah Kritis Pembentukan Komponen Cadangan Melalui UU No. 23 Tahun 2019 Tentang PSDN", Kamis (19/5).

Menurut  Eti Oktaviani ada beberapa ancaman dalam UU PSDN ini yakni tidak adanya definisi yang jelas. Selain itu, UU PSDN mengatur tentang banyak hal, tidak hanya komponen cadangan tetapi juga komponen pendukung, sarana dan prasarana lainnya yang disebut sebagai sumberdaya nasional yang dipersiapkan untuk pertahanan negara.

Luasnya cakupan pengaturan dalam UU PSDN ini, menurut Eti, berpotensi digunakan secara serampangan oleh mereka yang berkepentingan. Pengaturan terkait penyiapan sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana tidak diatur dengan jelas siapa yang berwenang, UU hanya mengatur tentang penetapannya.

"Karena  kewenangannya yang sangat luas maka sangat berpotensi disalahgunakan. Batasan dan indikator kapan presiden dapat mengerahkan Komcad juga tidak ada,” papar Eti.

Dosen FHK Unika Sugyopranoto, Donny Danardono, menila UU PSDN ini bermasalah sehingga harus direvisi secara total. Menurutnya, UU ini dibahas secara senyap oleh DPR dan pemerintah.

Secara substansi, kata dia, hak untuk anti-perang atau anti-kekerasan harus dihormati. Komcad secara internasional adalah sarana tempur secara sukarela, artinya kalau suka bisa ikut tetapi kalau tidak suka boleh tidak ikut, bukan paksaan dan bukan tipu muslihat.

"Tetapi UU ini mengatur mobilisasi yang membuat orang tidak bisa memilih dan hilang sifat sukarela tersebut. Dan lebih aneh lagi ada pasal 66 ayat 1 mengatur tentang pidana bagi mereka yang tidak ikut mobilisasi,” paparnya.

Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai bahwa proses pembahasan UU PSDN untuk Pertahanan Negara ini sedari awal sudah tidak transparan. Dibahas dalam waktu singkat di DPR dan terbukti kemudian secara substansi bermasalah.

"Presiden Jokowi baru mengirimkan Surpres RUU PSDN ini ke DPR pada tanggal 17 Juli 2019 dan disahkan oleh DPR pada 26 September 2019. Artinya hanya ada waktu 70 hari bagi DPR membahas substansi draft RUU yang diajukan pemerintah,” kata Ardi.

Sedangkan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf  yang juga hadir menjadi nara sumber menyoroti terkait  sedikit orang yang  tahu dengan keberadaan PSDN untuk Pertahanan Negara ini. Hal ini terjadi karena minimnya partisipasi publik dan penyerapan aspirasi publik.

"Negara yang baik, seharusnya bertanya kepada publik terkait dengan aturan legislasi yang mengatur hubungan antara negara dan warga negaranya. UU ini dibahas ketika tahun politik dalam tensi yang tinggi sehingga kepentingan politiknya juga tinggi,” paparnya.

Al Araf mengingatkan bahwa deklarasi perang oleh sebuah pemerintah negara tidak selalu berhubungan dengan kepentingan rakyat di sebuah negara tersebut. Perang hanya kelanjutan dari aksi politik dengan cara lain. Padahal, penyelesaian masalah tidak selalu dengan cara perang, bisa dengan jalan dialog.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement