REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jika meninggal dan memiliki utang puasa, apakah kerabatnya perlu selalu membayarkanya dengan qadha?
Dikutip dari buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan dua hal terkait utang puasa orang yang telah meninggal. Pertama, siapa saja yang mengakhirkan qadha’ Ramadhan begitu pula nadzar dan kafarat, karena ada uzur, di mana sakit atau safarnya (yang mubah) terus berlanjut hingga meninggal dunia dan tidak ada waktu untuk mengqadha’, maka tidak ada kewajiban qadha’ sama sekali.
Keluarganya pun tidak perlu menunaikan qadha’ maupun fidyah, karena ia bukan orang yang taqshir (lalai) dan ia tidak berdosa. Alasannya, ia tidak dikenakan kewajiban sampai akhirnya meninggal dunia, hukum wajib jadi gugur.
Kedua, Jika ada yang punya uzur (lantas tidak puasa), lalu uzur tersebut hilang (seperti orang sakit kembali lagi sehat), kemudian utang puasa belum juga dibayarkan, menurut pendapat Syafiiyah yang qadim (lama) dan jadi pilihan Imam Nawawi, walinya (keluarganya) memuasakan dirinya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من مات وعليه صيام صام عنه وليه
“Barang siapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang memuasakan dirinya.” (HR. Bukhari, no. 1952 dan Muslim, no. 1147).