REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara berkembang kehilangan 5 triliun dolar AS atau setara Rp 73.220 triliun (kurs Rp14.644 per dolar AS) akibat dinamika perekonomian yang mengguncang pasar keuangan akhir-akhir ini. Indeks saham berjatuhan dan imbal hasil obligasi merangkak naik.
Dalam 15 bulan terakhir, arus modal keluar meningkat. Meski masih berisiko kerugian, bagi beberapa investor maupun manajer investasi, kondisi ini menjadi kesempatan untuk berbelanja dengan harga diskon.
“Kami telah mengurangi penurunan kami pada kelas aset pasar berkembang. Walaupun secara fundamental tetap sangat tertantang, masih ada potensi keuntungan jangka pendek,” kata Paul Greer, supervisor kas di Fidelity International dilansir Bloomberg, Senin (23/5/2022).
Nilai kapitalisasi indeks MSCI disebut telah terpangkas 4 triliun dolar AS. Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama saingannya juga jatuh dari level tertingginya.
Kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS Federal Reserve dan pengetatan kuantitatif disebut menjadi penyeban kekacauan di pasar keuangan itu. Selain itu, lonjakan inflasi, meningkatnya kasus Covid-19 di Cina serta konflik Rusia-Ukraina semakin memperburuk kondisi.
Jika dilihat dari semua indikator yang ada, pasar disebut belum siap untuk berubah haluan. Kehancuran di pasar AS sebenarnya akan menarik negara-negara berkembang ke bawah bersamanya, dan begitu juga eskalasi pengetatan keuangan atau ketegangan geopolitik.
“Kekhawatiran saya adalah bahwa siklus pengetatan bank sentral pasar ke depan bisa jauh lebih agresif daripada yang biasa dilakukan investor dalam 20-30 tahun terakhir,” kata pengawas portofolio makro dunia di GAMA Asset Management, Rajeev De Mello.