REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan akan mempelajari lebih lanjut masukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Program Magang Kampus Merdeka. Kemendikbudristek akan mendukung masukan tersebut apabila kualitas dan intensitas magang menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2024 bagus.
"Nanti, kami akan dalami. Selama program magangnya itu memang intensif dan bermanfaat bagi mahasiswa tentu kita dengan senang hati akan menjadikan ini sebagai bagian dari program MBKM," ujar Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Diktiristek) Kemendikbudristek Nizam saat ditemui di Gedung Kemendikbudristek, Jakarta, Senin (23/05/2022).
Menurut Nizam, Kemendikbudristek harus mempelajari terlebih dahulu intensitas dan kualitas program magang tersebut. Termasuk, berapa jumlah satuan kredit semester (SKS) yang dapat dikonversikan apabila mengikuti kegiatan tersebut.
Bagus-tidaknya semua hal tersebut itu akan memengaruhi keputusan terkait usulan tersebut ke depan. "Karena kan intensitas programnya, kualitas programnya, berapa SKS, itu yang nanti akan kita pelajari. Kami sangat mendukung kalau memang itu kualitas dan intensitasnya bagus," ujar Nizam.
Ketua KPU Republik Indonesia Hasyim Asy'ari mendorong mahasiswa magang Kampus Merdeka ikut menjadi bagian dari penyelenggara pemilu ad hoc, terutama KPPS pada Pemilu 2024. Durasi masa kerja KPPS ini sekitar satu bulan.
"Termasuk Kampus Merdeka, sebagian besar adalah magang. Kalau dulu magangnya itu jadi pemantau, sekarang kita dorong untuk menjadi bagian dari penyelenggara pemilu terutama KPPS karena durasi kerjanya tidak lama," ujar Hasyim saat ditemui Republika di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Dia mengatakan, mahasiswa magang Kampus Merdeka dapat menjadi anggota KPPS di tempat tinggalnya masing-masing. Hal ini agar mahasiswa yang menjadi anggota KPPS tetap dapat menggunakan hak pilihnya.
"Kami dorong untuk magang Kampus Merdeka itu sebagai KPPS dan tugasnya di kampung sendiri-sendiri. Kalau mereka tugas di kampungnya sendiri-sendiri, enggak kehilangan hak pilih dan dekat dengan area kampusnya," kata Hasyim.
Untuk menarik minat masyarakat menjadi penyelenggara pemilu ad hoc, KPU mengusulkan kenaikan honorarium menjadi Rp 1,5 juta. Pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 lalu, upah KPPS sebesar hanya Rp 550 ribu dan Rp 850 ribu.
Untuk mengantisipasi kejadian petugas pemilu wafat, KPU mensyaratkan usia paling tinggi yang dapat menjadi penyelenggara ad hoc ialah 50 tahun. Langkah ini sebelumnya diterapkan juga pada penyelenggaraan Pilkada 2020.
"Kami gunakan syarat bagi penyelenggara ad hoc berusia maksimal 50 tahun, sehat, bebas komorbid, dan vaksin dua kali dosis," tutur Hasyim.
Hasyim mengaku tak khawatir kejadian wafatnya ratusan petugas pemilu 2019 lalu tak menyurutkan minat masyarakat berpartisipasi menjadi penyelenggara pemilu. Dia optimistis masih banyak warga yang mau bergabung menjadi bagian dari penyelenggara Pemilu 2024.