REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menghadiri pemakaman seorang pejabat tinggi pada Ahad (22/5/2022). Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) mengatakan, Kim menghadiri pemakaman Hyon Chol Hae, seorang marshal Tentara Rakyat Korea yang memainkan peran kunci dalam mempersiapkannya sebagai pemimpin negara berikutnya sebelum ayah Kim, Kim Jong-Il, meninggal pada akhir 2011.
Dalam salah satu pemakaman kenegaraan terbesar di negara itu sejak kematian ayahnya, Kim Jong-un bersama dengan pejabat tinggi lainnya mengangkat peti mati Hyon. Pejabat tinggi lainnya tampak mengenakan masker, sementara Kim tidak mengenakan masker. Tayangan televisi pemerintah menunjukkan, Kim beserta ratusan tentara dan pejabat membungkuk dalam-dalam di depan makam Hyon.
Televisi pemerintah sebelumnya menunjukkan ribuan tentara mengenakan seragam hijau zaitun, berkumpul di alun-alun Pyongyang kemudian melepas topi mereka dan memberikan penghormatan sebelum limusin yang membawa jenazah Hyon berangkat ke pemakaman. KCNA mengatakan, banyak sekali tentara dan warga yang turun ke jalan untuk menyampaikan belasungkawa.
"Nama Hyon Chol-hae akan selalu diingat bersama dengan nama agung Kim Jong-il," ujar laporan KCNA mengutip pernyataan Kim Jong-un.
Selama proses pemakaman, sebagian besar orang menggunakan masker, kecuali Kim Jong-un dan pengawal kehormatan. Beberapa waktu lalu, Korea Utara mengkonfirmasi kasus Covid-19 pertama kalinya. Wabah Covid-19 yang sedang berlangsung di Korea Utara kemungkinan disebabkan oleh parade militer pada 25 April dan acara terkait yang menarik banyak orang, dan tidak mengenakan masker.
Korea Utara mempertahankan penguncian nasional dan aturan ketat lainnya untuk mengekang wabah virus korona. Pemerintah Korea Utara melarang pergerakan wilayah ke wilayah, tetapi kegiatan pertanian, ekonomi, dan industri utama lainnya terus berlanjut dalam upaya nyata untuk meminimalkan kerugian bagi ekonomi negara
KCNA melaporkan, pada Senin (23/5) sebanyak 167.650 kasus demam baru telah terdeteksi dalam periode 24 jam terakhir. Jumlah tersebut cenderung menurun dari puncak kasus yang mencapai sekitar 390.000 per hari pada pekan lalu. Sementara tingkat kematian akibat demam adalah 0,002 persen.
“Semua orang (Korea Utara) mempertahankan giliran menguntungkan saat ini dalam kampanye anti-epidemi dengan kesadaran maksimal, sebagai tanggapan atas panggilan komite pusat partai untuk mempertahankan kehidupan dan masa depan mereka yang berharga dengan keyakinan akan kemenangan yang pasti dan melipatgandakan upaya besar," kata KCNA.
Para ahli mempertanyakan penghitungan jumlah kasus do Korea Utara, karena 26 juta orang Korea Utara tidak menerima vaksinasi Covid-19 dan sekitar 40 peesen dilaporkan kekurangan gizi. Sementara sistem perawatan kesehatan masyarakat hampir rusak, termasuk kekurangan obat-obatan dan persediaan.
Pekan lalu, badan intelijen Korea Selatan mengatakan kepada anggota parlemen bahwa beberapa kasus demam yang dihitung oleh Korea Utara termasuk orang yang menderita penyakit lain seperti campak, tipus dan pertusis. Tetapi beberapa ahli sipil percaya sebagian besar kasus demam itu adalah Covid-19.
Sebelum mengakui wabah omicron pada 12 Mei, Korea Utara bersikeras bahwa negara itu bebas virus korona selama pandemi. Korea Utara menolak jutaan vaksin yang ditawarkan oleh program Covax yang didukung PBB, serta tidak menanggapi tawaran obat-obatan dan bantuan lain dari Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah meminta informasi lebih lanjut tentang wabah tersebut tetapi tidak mendapat tanggapan. Beberapa pengamat mengatakan, Korea Utara hanya akan menerima bantuan dari Cina, yang merupakan sekutu utama terakhirnya. Pengiriman bantuan dari Barat dapat melukai kepemimpinan Kim, karena dia berulang kali menyerukan "kemandirian" untuk melawan kampanye tekanan yang dipimpin AS.
Sejak awal bulan ini, Korea Utara mengakui wabah varian omicron. Korea Utara mengidentifikasi hanya sebagian kecil dari kasus demam yang dinyatakan sebagai Covid-19.
KCNA mengatakan, jumlah kematian akibat demam hanya 68 orang sejak akhir April. Ini adalah tingkat kematian yang sangat rendah jika penyakitnya adalah Covid-19 seperti yang diduga.
Korea Utara memiliki kemampuan pengujian yang terbatas. Tetapi beberapa ahli menduga, Korea Utara tidak melaporkan jumlah kematian sebenarnya untuk melindungi Kim dari kerusakan politik.