Senin 23 May 2022 22:10 WIB

Biden Resmikan Perjanjian Dagang Indo-Pasifik yang Baru

Kerangka kerja di Indo-Pasifik akan membantu AS dan perekonomian di Asia

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
 Presiden AS Joe Biden (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida (kanan) menghadiri konferensi pers bersama di Akasaka Guest House di Tokyo, Jepang, 23 Mei 2022. Presiden AS berada di Jepang dalam kunjungan tiga hari setelah perjalanan ke Korea Selatan.
Foto: EPA-EFE/NICOLAS DATICHE
Presiden AS Joe Biden (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida (kanan) menghadiri konferensi pers bersama di Akasaka Guest House di Tokyo, Jepang, 23 Mei 2022. Presiden AS berada di Jepang dalam kunjungan tiga hari setelah perjalanan ke Korea Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden meresmikan perjanjian dagang baru dengan 12 negara Indo-Pasifik yang bertujuan memperkuat perekonomian negara-negara kawasan. Pemerintah AS mengatakan perjanjian dagangan itu dirancang untuk menunjukkan dedikasi AS pada lanskap perekonomian yang diperebutkan dan untuk menstabilkan kembali perdagangan yang terganggu oleh pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina.  

Negara-negara yang bergabung dalam perjanjian dengan AS tersebut adalah: Australia, Brunei, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Bila digabung dengan AS maka perekonomian negara-negara itu 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Dalam pernyataan bersama negara-negara itu mengatakan perjanjian tersebut akan membantu mereka bersama-sama "mempersiapkan ekonomi untuk masa depan" setelah sempat mundur oleh pandemi dan perang di Ukraina.

Biden dan Kishida ikut meresmikan perjanjian itu bersama Perdana Menteri India Narendra Modi. Sementara perwakilan dari negara lain bergabung melalui video. Modi berada di Tokyo untuk pertemuan Quad yang terdiri dari Australia, AS, India dan Jepang.

Gedung Putih mengatakan kerangka kerja di Indo-Pasifik akan membantu AS dan perekonomian di Asia untuk bekerja lebih erat dalam berbagai isu seperti rantai pasokan, perdagangan digital, energi bersih, perlindungan pekerja dan upaya anti-korupsi.

Detail perjanjian itu masih perlu dinegosiasikan di antara negara anggota sehingga akan sulit bagi pemerintah AS untuk mengatakan bagaimana perjanjian ini akan memenuhi janji-janji mereka untuk membantu pekerja dan pengusaha AS sambil memenuhi kebutuhan global.

Kritikus menilai kerangka kerja itu banyak kekurangan. Seperti perjanjian dagang itu tidak menawarkan insentif bagi calon mitra seperti menurunkan tarif atau memberi negara anggota akses pasar yang lebih luas ke AS. Negara anggota juga mungkin bertanya manfaat nyata dari kerangka kerja ini.

Keterbatasan ini mungkin membuat Kerangka Kerja Indo-Pasifik tidak menarik untuk menjadi alternatif bagi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang tetap berjalan meski mantan Presiden AS Donald Trump mengeluarkan AS dari perjanjian itu. China yang merupakan mitra dagang terbesar bagi banyak negara juga ingin bergabung dengan TPP.

"Saya pikir banyak mitra yang melihat daftarnya dan mengatakan: 'Ini daftar isu yang bagus. Saya senang terlibat,’” kata mantan direktur isu ekonomi internasional Dewan Keamanan Nasional pemerintah Barack Obama, Matthew Goodman.

Sementara itu, Kishida yang mulai menjabat musim gugur lalu ingin memperkuat hubungan dengan AS dan membangun hubungan personal dengan Biden. Ia menyambut baik perjanjian dagang Biden yang baru tapi ia masih berharap AS akan kembali bergabung dengan TPP.

"Kami kira Amerika Serikat masih diinginkan untuk kembali ke TPP," katanya.

Perjanjian dagang yang baru diluncurkan ketika Washington yakin mereka berada di ambang persaingan dengan Beijing. Pekan lalu Bloomberg Economics merilis laporan yang menyebutkan PDB AS pada 2022 tumbuh 2,8 persen, lebih tinggi dari Cina yang sekitar 2 persen.

China menerapkan peraturan pembatasan sosial Covid-19 yang ketat sambil mengatasi gejolak properti. Perlambatan itu merusak asumsi China akan menggantikan AS sebagai perekonomian nomor satu di dunia.  

"Fakta pada tahun ini untuk pertama kalinya Amerika Serikat tumbuh lebih cepat dari China sejak 1976, merupakan contoh yang sangat jelas bagaimana negara-negara di kawasan ini harus mempertanyakan tren dan lintasan," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement