REPUBLIKA.CO.ID, Antara abad ke-13 dan 14 Masehi, bangsa Mongol menyapu dataran Asia. Lebih dari 40 juta jiwa tewas akibat ekspansi kekaisaran yang didirikan Jenghis Khan itu.
Termasuk di antara para korban itu adalah kaum Muslimin yang menghuni wilayah Dinasti Khwarazmi di Asia tengah, Abbasiyah di Irak, serta Ayyubiyah di Syam.
Dengan fakta demikian, barangkali pantas apabila Imperium Mongol dijuluki sebagai pembantai umat. Akan tetapi, bangsa dari Asia timur itu di kemudian hari berubah menjadi lebih akomodatif.
Bahkan, sejumlah elite keturunan Jenghis Khan (Temujin) memilih beriman pada ajaran Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka pun turut membuka jalan bagi kebangkitan lagi peradaban Islam.
Persentuhan bangsa Mongol dengan Islam mungkin saja diawali dari kebijakan sang khan agung yang cenderung menghargai kemajemukan agama rakyat jajahannya.
Para pemuka agama beserta properti tempat ibadah tidak dikenakan pajak. Seorang penerus Temujin, Kublai Khan, bahkan menjadi penguasa pertama di dunia yang meliburkan secara resmi hari-hari besar keagamaan.
Mongol juga kian akrab dengan Islam berkat asimilasi budaya dengan bangsa Turki. Berbeda dengan anak keturunan Jenghis Khan, mereka terlebih dahulu mengalami Islamisasi pada permulaan era Kekhalifahan Abbasiyah.
Sesudah Temujin meninggal dunia, beberapa anaknya memasukkan unsur-unsur Turki sebagai bagian dari tatanan kekuasaannya. Maka di istana kekaisaran pun terdapat orang-orang Islam.
Jalan lain bagi sampainya syiar agama tauhid ke dalam lingkungan elite Mongol adalah dakwah sufistik.
Dalam buku Iran After Mongols, Leonard Lewisohn menjelaskan, Kubrawiyah merupakan tarekat yang paling marak diikuti masyarakat Muslimin di Negeri Persia pada abad ke-13 dan 14 M.
Jalan salik itu digagas oleh seorang mursyid asal Khwarazmi. Namanya adalah Syekh Najmuddin Kubra.
Lahir pada 1145 M, ahli tasawuf itu pada mulanya merupakan ulama ahli hadis dan kalam. Sejak merantau ke Mesir, Najmuddin mulai menumbuhkan minatnya pada dunia sufistik. Dia pun menjadi murid Syekh Ruzbihan Baqli di sana.
Kembali ke Asia tengah, Najmuddin tidak lagi dikenal sebagai alim syariat, tetapi mursyid tarekat. Pengikutnya berasal dari pelbagai kalangan, utamanya para penulis. Karena itu, orang-orang menjulukinya sebagai pencetak sufi (bahasa Persia: vali tarash).
Najmuddin berada di wilayah Khwarazmi ketika negeri tempatnya dilahirkan itu diserbu balatentara Jenghis Khan. Konon, sang sufi terjun langsung di garda terdepan dalam memerangi para agresor.
Padahal, kalangan bangsawan setempat sudah memintanya untuk ikut mengungsi ke luar negeri. Dia kemudian gugur usai berduel dengan sejumlah prajurit Mongol.
Ajaran tasawuf Najmuddin Kubra kian berkembang walaupun mursyid tersebut telah berpu lang ke rahmatullah. Jamaahnya kemudian membentuk tarekat yang dinamakan sesuai sang guru, Kubrawiyyah.
Ordo sufistik itu, seperti diutarakan Lewisohn, lantas tersebar luas utamanya di kawasan Iran dan Asia tengah.
Mayoritas pengikut Kubrawiyyah saat itu adalah orang-orang Sunni-Persia. Salah seorang mursyid tarekat itu adalah Syekh Syaifuddin Bakharzi. Dia berada satu generasi di bawah Syekh Najmuddin.
Tokoh tersebut berasal dari Bakharzsebuah kota yang terletak dekat perbatasan Iran-Afghanistan kini. Pendidikan keislaman diperolehnya di Nishapur, salah satu mercusuar peradaban Islam era Abbasiyah.
Salik kelahiran 1190 itu kemudian hijrah ke Khwarazmi. Di sanalah kepekaan sufistiknya terasah. Sejak berguru pada Syekh Najmuddin, dirinya secara total memilih tasawuf sebagai jalan hidup.
Berbeda dengan mursyidnya itu, Syaifuddin Bakharzi selamat dari kekejian pasukan Mongol. Dari Khwarazmi, dia sempat mengungsi ke berbagai tempat. Sesudah amuk balatentara Jenghis Khan meredakarena beralih fokus pada musuh Mongol di Cinamaka Bakharzi berupaya kembali ke Asia tengah. Pada akhirnya, dirinya bermukim di Bukhara selama 40 tahun hingga tutup usia.