Selasa 24 May 2022 19:35 WIB

BI Tahan Suku Bunga, Ekonom: Sinyal Pro Growth tapi Awasi Nilai Tukar

Tahan suku bunga jadi sinyal BI memberikan semangat pro pertumbuhan.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana gedung perkantoran di Jakarta. Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate di level 3,5 persen, dibarengi dengan suku bunga deposit facility 2,75 persen dan lending facility 4,35 persen. Ekonom dan Staf Ahli OJK, Ryan Kiryanto mengatakan keputusan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tersebut merupakan keputusan taktis yang tepat.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Suasana gedung perkantoran di Jakarta. Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate di level 3,5 persen, dibarengi dengan suku bunga deposit facility 2,75 persen dan lending facility 4,35 persen. Ekonom dan Staf Ahli OJK, Ryan Kiryanto mengatakan keputusan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tersebut merupakan keputusan taktis yang tepat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate di level 3,5 persen, dibarengi suku bunga deposit facility 2,75 persen dan lending facility 4,35 persen. Ekonom dan Staf Ahli OJK, Ryan Kiryanto mengatakan keputusan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tersebut merupakan keputusan taktis yang tepat.

"Di saat kurva ekonomi sedang menanjak atau bertumbuh, maka level suku bunga acuan dipertahankan yang memberikan spirit dan sinyal dovish atau akomodatif," katanya, Selasa (24/5/2022).

Baca Juga

Dengan tepat pula, BI mengoptimalkan kebijakan nonsuku bunga acuan yakni kebijakan makroprudensial yakni dengan menaikkan rasio GWM secara terukur. Mengingat likuiditas perbankan masih sangat ample.

BI juga memberikan insentif berupa remunerasi bagi bank yang mampu memenuhi persyaratan atau kriteria yang ditetapkan. Menurutnya, ini menjadi sinyal BI dalam memberikan semangat pro pertumbuhan.

"Kebijakan pro growth ini terlihat kuat dari penyediaan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas dan UMKM," katanya.

Cakupan subsektor prioritas untuk disalurkan kredit dan pembiayaannya pun diperluas dari sebelumnya hanya 38 subsektor menjadi 46 subsektor. Meski demikian, ia menilai perlu menjadi catatan bagi kalangan perbankan dan pelaku usaha bahwa kenaikan rasio GWM secara terukur tadi memberikan sinyal.

Sinyal bahwa strategi pengendalian inflasi tetap berjalan efektif tanpa harus mengendurkan stance kebijakan yang akomodatif dan pro pertumbuhan. Juga memberikan sinyal kuat bahwa perbankan dan dunia usaha seyogyanya bersiap diri untuk memasuki era new normal.

Hal ini sebagaimana dilakukan negara-negara lain yg sudah menormalisasi kebijakan ekonomi dan moneternya. Sementara itu, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, BI perlu terus mewaspadai nilai tukar seiring dengan ditahannya BI rate.

"Seberapa lama BI akan tahan mengendalikan nilai tukar ketika gejolak global terus meningkat, cadangan devisa kita terbatas," katanya kepada Republika.

Menurutnya, tingkat cadangan devisa saat ini meski meningkat tapi sangat terbatas ketika dikonversi pada pemenuhan pembayaran utang pemerintah dan inflow yang masih relatif kecil. Perhitungannya juga belum mengakomodasi hutang swasta.

Abdul mengatakan, ini menjadi indikator apakah BI akan kuat atau tidak ketika tidak merespons gejolak ekonomi global dalam bentuk kenaikan suku bunga. Ketika nantinya BI merespons dengan suku bunga maka akan ada tranmisi ke suku bunga simpanan dan pinjaman perbankan. "Ketika meningkat maka akan berdampak pada realisasi kredit dan investasi," katanya.

Peluang kredit masih bisa tumbuh, khususnya pada kredit yang berkorelasi dengan sektor ekonomi riil seperti makanan minuman, transportasi, hingga UMKM. Namun di luar sektor tersebut akan masih akan melambat.

Sehingga ke depan, kata dia, kebijakan moneter akan relatif lebih cepat. Karena  perbankan biasanya akan respons kenaikan dengan kenaikan suku bunga juga. Tapi saat koreksi akan lama transmisinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement