REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Pemilik Saung Angklung Udjo, Taufik Hidayat Udjo, mengaku cukup miris akan rendahnya minat generasi muda di Kota Bandung untuk mempelajari dan mengenal seni angklung. Hal ini tergambar pada rendahnya jumlah kunjungan pelajar dari Kota Bandung ke Saung Angklung Udjo yang sejauh ini kunjungannya justru masih didominasi oleh pelajar dari luar Kota Bandung.
“Kebanyakan pelajar, biasanya bareng dengan sekolahnya. Namun justru sekolah-sekolah dari Bandungnya sedikit, kebanyakan dari luar Bandung seperti Jabodetabek dan Jawa Tengah maupun Jawa Timur,” kata Kang Opick, sapaan akrabnya, kepada Republika, Selasa (24/5/2022).
Upaya yang tengah digencarkan Saung Angklung Udjo dalam meningkatkan minat pelajar Kota Bandung untuk mengenal dan mempelajari seni angklung adalah dengan menggelar road show ke beberapa sekolah di Kota Bandung. Dengan cara ini, diharapkan generasi muda Kota Bandung dapat mengenal dan memahami seni angklung.
“Jangan sampai orang Bandung justru tidak paham tentang angklung. Maka kita coba kuatkan dulu dari dalam. Targetnya dalam satu bulan itu bisa ke empat sekolah, mulai bulan depan. Paling tidak dalam kegiatan itu kita akan gelar angklung interaktif,” tuturnya.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan untuk mengenalkan angklung secara lebih luas adalah meningkatkan konten-konten pertunjukan virtual. Tentunya dengan lagu, durasi, dan fokus yang akan disesuaikan dengan minat warganet. Rencana ini akan dimulai dengan pembenahan struktur manajemen Saung Angklung Udjo, khususnya penambahan divisi konten digital dan promosi digital.
“Pengemasan lagu juga mungkin akan berbeda antara offline dengan online. Misalnya saat online bisa jadi kita bisa lebih fokus pada visualisasi angklung toelnya. Kita juga sedang mengupayakan model pergelaran berbasis Metaverse, Insya Allah kita akan bertetangga dengan Rans Entertainment. Itu target kita,” ungkapnya.
Saung Angklung Udjo juga memiliki sembilan poin dalam road map Bandung Kota Angklung dalam rangka membumikan citra Bandung sebagai Kota Angklung. Mulai dari menjadikan Saung Udjo sebagai Living Museum of Angklung, menggelar Angklung Day, memasukkan pelajaran seni angklung dalam kurikulum tambahan di sekolah-sekolah, menjadikan Saung Angklung Udjo sebagai desa wisata, menggelar Angklung Festival, mengadakan lomba angklung (Pasanggiri) dan resital angklung, hingga meluncurkan konsep besar untuk menguatkan branding Bandung sebagai Kota Angklung.
“(Branding) Ini bisa ditanamkan melalui peningkatan penjualan suvenir angklung sebagai ikon kota Bandung, menggabungkan desain batik angklung dan bandung, mewarnai instalasi Kota Bandung dengan mural atau gambar-gambar angklung, dan mempromosikan konten angklung ke hotel-hotel, restoran, mall dan setiap jalan-jalan kota bandung,” jelas Kang Opick.
Menurutnya standarisasi beberapa muatan angklung dalam setiap kegiatan seperti seminar, pelatihan, sertifikasi, FGD, dan kajian juga dapat menjadi cara untuk membumikan citra Bandung Kota Angklung. “Dari tingkat internasional juga diharapkan angklung dapat lebih mendunia dan Kota Bandung dapat dikenal sebagai pusat angklung dunia,” jelasnya.