Kamis 26 May 2022 13:57 WIB

Jubir MK: Pemerintah Perlu Terbitkan Peraturan Pelaksana Pengangkatan Penjabat

Peraturan demi tersedia mekanisme terukur serta tidak mengabaikan prinsip demokrasi.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono Suroso, mengatakan, berdasarkan putusan MK nomor 67/PUU-XIX/2021, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Ilustrasi. Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono Suroso, mengatakan, berdasarkan putusan MK nomor 67/PUU-XIX/2021, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono Suroso, mengatakan, berdasarkan putusan MK nomor 67/PUU-XIX/2021, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Menurut dia, peraturan pelaksana dibuat demi tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas serta tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. 

"Mahkamah Konstitusi di dalam putusan ini mengatakan untuk terminologi dipilih secara demokratis itu maka pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana," ujar Fajar dalam diskusi daring yang disiarkan Youtube Public Virtue Research Institute, Rabu (25/5/2022) kemarin. 

Baca Juga

Dia melanjutkan, peraturan pelaksana juga dibuat untuk memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel. Hal ini tentu untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah, serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. 

Fajar menegaskan, dalam putusan tersebut, MK telah memberikan rambu-rambu dan mandat konstitusional terkait pengisian kekosongan jabatan imbas pelaksanaan pilkada serentak nasional pada 2024. Namun, dia menyayangkan, pertimbangan hukum dalam putusan MK ini tidak dianggap mengikat dan justru diabaikan sehingga tidak dilaksanakan. 

"Ketika itu dilaksanakan dan pertimbangan hukum itu dianggap tidak mengikat, pertimbangan hukum itu kemudian diabaikan, dan saya kira itu bukan kali ini saja, maka itu lah timbul polemik," kata Fajar. 

Dia mengatakan, terdapat pemahaman yang memandang saat amar putusan MK menyatakan menolak permohonan pemohon, maka tidak terdapat implikasi apapun terhadap norma yang digugat. Hal ini kemudian dijadikan sebagai pedoman. 

Pada saat yang bersamaan, terdapat pemahaman yang menilai amar putusan itu mengikat, sedangkan pertimbangan hukum tidak bersifat mengikat. Menurut Fajar, pemahaman ini kurang tepat dan ketika dipraktikkan terjadi polemik. 

Di sisi lain, pemerintah tak kunjung menerbitkan peraturan pelaksana seperti yang disebutkan MK dalam pertimbangan hukum pada putusan nomor 67/PUU-XIX/2021. Namun, presiden dan menteri dalam negeri (mendagri) telah mengangkat lima penjabat gubernur dan 43 penjabat bupati/wali kota untuk menggantikan kepala daerah definitif yang habis masa jabatannya pada Mei 2022 ini, tanpa menerbitkan peraturan pelaksana. 

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengaku telah membaca putusan MK yang dimaksud. Menurut dia, alasan pemerintah tak menerbitkan peraturan pelaksana karena dalam putusan MK tersebut tidak ada frasa yang mewajibkan pemerintah membuat aturan turunan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. 

"Jadi frasa aturannya ‘mempertimbangkan’, bukan mewajibkan, beda. Kalau pemerintah mewajibkan nah itu kami harus buat Peraturan Pemerintahnya. Kalau mempertimbangkan kira-kira boleh Anda buat, boleh Anda tidak buat," ujar Tito usai pelantikan lima penjabat gubernur di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2022). 

Tito mengatakan, frasa yang ada “agar pemerintah mempertimbangkan” membuat peraturan pelaksana tentang penunjukan penjabat kepala daerah, berada di pertimbangan MK, bukan dalam amar putusan. Sebab, putusan itu menguji materi aturan masa jabatan kepala daerah dan putusannya pun menolak permohonan. 

"Itu letaknya bukan di dalam keputusan, bukan keputusan, tapi di dalam pertimbangan," kata Tito. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement