Kamis 26 May 2022 19:05 WIB

Pakar Hukum: TNI/Polri Aktif Dilarang Jadi Penjabat Kepala Daerah

Larangan menjadi penjabat kepala daerah TNI/Polri sesuai putusan MK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Hafil
Pakar Hukum: TNI/Polri Aktif  Dilarang Jadi Penjabat Kepala Daerah. Foto: Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari memberikan paparan dalam diskusi di Jakarta, Ahad (5/3).
Foto: Republika/Prayogi
Pakar Hukum: TNI/Polri Aktif Dilarang Jadi Penjabat Kepala Daerah. Foto: Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari memberikan paparan dalam diskusi di Jakarta, Ahad (5/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan personel TNI/Polri tak boleh diangkat menjadi penjabat kepala daerah. Dia mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan tugas TNI/Polri bukan menjadi penjabat pemerintah daerah, melainkan pertahanan dan keamanan.

"Tegas terang benderang tidak boleh kemudian penjabat kepala daerah diisi oleh TNI dan kepolisian karena itu bukan tugas konstitusionalnya, ditambah lagi putusan Mahkamah Konstitusi mempertegas itu," ujar Feri dalam diskusi daring yang disiarkan Youtube Public Virtue Research Institute, Rabu (25/5/2022) kemarin.

Baca Juga

Dalam Undang-Undang mengenai TNI maupun Polri, juga ditegaskan personel aktif dilarang menduduki jabatan sipil. TNI/Polri hanya dapat memegang jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Namun, kata Feri, TNI/Polri nonaktif tak serta-merta dapat diangkat menjadi penjabat kepala daerah. Dia melanjutkan, pertimbangan hukum MK tidak hanya mempersoalkan aktif dan tidak aktif aparat TNI/Polri, melainkan ada tiga hal yang mesti diperhatikan.

Dia menjelaskan, dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan amanat konstitusi yang memerintahkan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Menurut Feri, untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi itu, MK memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana yang mengatur pengisian kekosongan jabatan kepala daerah menuju pilkada serentak secara nasional.

"MK menyinggung bahwa untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD, pemilihan kepala daerah juga perlu segera dipertimbangkan membentuk peraturan pelaksana agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum," kata dia.

Feri melanjutkan, peraturan pelaksana dibentuk agar penunjukan penjabat kepala daerah menjamin keterbukaan dan transparansi. Sedangkan, sejauh ini, tidak ada keterbukaan dalam pengangkatan lima penjabat gubernur dan 43 bupati/wali kota pada Mei 2022, seperti alasan pemerintah akhirnya menunjuk para pejabat tersebut untuk menjadi penjabat.

Selain itu, penunjukan penjabat kepala daerah harus mempertimbangkan kompetensi pejabat. Dia menegaskan, kompetensi konstitusional TNI/Polri adalah di ruang pertahanan dan ketahanan.

Kemudian, kata Feri, pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga harus memperhatikan aspirasi daerah. Namun, sejauh ini yang terjadi menteri dalam negeri (mendagri) tak mengangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari usulan gubernur.

"Bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa pejabat kepala daerah yang dipilih itu berkaitan dengan aspirasi masyarakatnya, tidak terbuka, tidak transparan, tidak kompeten, tidak ada peraturan pelaksanaannya," ujar Feri.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement