Jumat 27 May 2022 11:50 WIB

Mengenang Buya Syafii, Tulisan Perdana di Republika

Buya Syafii Maarif mulai menulis secara tetap sejak 2004.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Buya Syafii Maarif
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Buya Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inalillahi wa inailaihi rajiun, bangsa Indonesia berduka dengan berpulangnya cendekiawan Muslim Buya Syafii Maarif. Sejak lama, pria yang pernah menjabat ketua umum PP Muhammadiyah itu telah mewarnai perjalanan bangsa dengan pemikiran-pemikiran yang kritis dan bernas.

Sejak 2004, Buya Syafii juga merupakan penulis tetap kolom "Resonansi" di Harian Republika. Berikut tulisan perdana beliau tertanggal 13 Januari 2004 yang ternyata masih relevan sampai sekarang:

Baca juga : Buya Syafii Maarif Wafat, Yusril: Kepergiannya Merupakan Kehilangan Besar Bagi Bangsa

Bangkit Secara Otentik

Gerakan untuk sebuah good governance (tata pemerintahan yang baik) sejak beberapa bulan terakhir semakin gencar. Ramifikasinya meluas menjadi gerakan antikorupsi dan antipolitisi busuk, sebuah ungkapan yang tidak sedap didengar dan dirasakan, khususnya oleh mereka yang diperkirakan sedang berada pada sasaran tembak.

Apalagi sekarang orang sedang sibuk-sibuknya dalam proses pencalegan yang penuh pergumulan untuk merebut posisi urutan teratas. Istilah nomor jadi berdasarkan peta hasil Pemilu 1999 menjadi incaran setiap politisi, hampir tanpa kecuali.

Fenomena ini sebenarnya adalah indikasi dari sebuah budaya politik pengap yang sudah lama diidap oleh bangsa ini, bangsa yang sering dijuluki sebagai yang berwatak religius, tetapi kelakuan sebagian anaknya ternyata busuk dan menyebalkan.

Apakah kebangkitan untuk mewujudkan good governance ini sungguh-sungguh otentik atau sekadar gerakan emosional yang akan berusia seumur jagung, atau tergantung kepada pesan sponsor? Tentu tidak mudah kita katakan sekarang.

Namun, sebagai bangsa yang mau belajar menjadi bijak dari berbagai kegagalan kita sejak proklamasi dalam menciptakan sebuah bangunan demokrasi yang kuat dan sehat, tentu kebangkitan ini tidak boleh setengah hati, tidak boleh pura-pura, sebab taruhannya terlalu besar, yaitu kita tidak punya masa depan.

Siapkah kita menuai risiko dahsyat itu? Kepada para mahasiswa, tokoh-tokoh LSM, para agamawan, dan mereka yang benar-benar peduli pada nasib bangsa ini, termasuk beberapa jenderal pensiunan, dalam berbagai kesempatan, pertanyaan yang memuat pesan serupa ini sudah sering saya sampaikan.

Tampaknya ada keinsafan bahwa kita tidak boleh berlama-lama terkurung dalam pasungan kondisi yang tidak memberi harapan ini. Persoalannya adalah apakah keinsafan pada tingkat wacana semacam ini akan cukup efektif dan perkasa untuk menghadapi gelombang pragmatisme dan/atau premanisme politik dengan dukungan dana yang melimpah?

Tentu kita tidak boleh larut dalam pesimisme bahwa kebangkitan kali ini juga akan bernasib sama buruknya dengan model-model kebangkitan masa lalu: Angkatan '45 dan Angkatan '66 yang ternyata gagal menciptakan suatu good governance dan clean government (pemerintahan yang bersih).

Sebagian besar politisi yang kemudian muncul umumnya punya karakter lemah dalam menghadapi godaan yang mengepung dari kiri dan kanan. Godaan yang dapat mengubah orang baik menjadi tak berdaya, karena kuatnya tarikan lingkungan yang korup. Dalam istilah agama, perbedaan antara halal dan haram menjadi kabur sama sekali, lantaran hati nurani telah dibiarkan tercemar, berangsur tetapi pasti.

Inilah yang berlaku selama ini, sampai-sampai nama Tuhan-pun dibajak semata-mata untuk meraih sejemput materi dan posisi. Oleh sebab itu, agar gerakan moral yang semakin meluas sekarang ini tidak berujung dengan kegagalan lagi, maka kepada semua pihak yang mau melawan segala bentuk kebobrokan yang telah meluluhlantakkan fondasi moral bangsa ini, tidak boleh main-main lagi, dengan syarat agar tetap berada dalam koridor damai dan santun.

Jangan sampai ada setetes darah pun yang tertumpah, jangan ada perusakan fisik seperti waktu-waktu yang lalu; jangan ada lagi kecemburuan rasial karena sudah sama-sama mengerti hak dan tanggung jawabnya masing-masing. Peta kemiskinan yang kini masih mengerikan harus diubah secepatnya menjadi peta keadilan sosial yang sudah terlalu lama dinantikan.

Di depan kita tidak ada pilihan lain, kecuali membangun kembali optimisme yang rasional. Kalau nanti misalnya masih muncul fenomena konglomerasi, maka itu haruslah yang otentik pula, tidak karena main kongkalingkong dengan penguasa dan birokrasi melalui praktik KKN yang merusak dan melumpuhkan.

Jika kebangkitan damai kali ini dapat menjadi gelombang besar pada 2004 ini, maka kesimpulan kita hanya satu: Indonesia memang sedang bangkit secara otentik dalam upaya merancang sebuah peta masa depan yang lebih segar dan baru, bebas dari segala kemunafikan dan kepura-puraan; tetapi juga Indonesia yang mau memaafkan masa lampau, sekalipun tidak perlu melupakannya.

Indonesia kita kini memang sedang menantikan suntikan darah baru dari anak-anaknya sendiri yang sadar dan insaf akan segala kelemahan dan kelalaian selama ini dan mau mengubahnya dengan cara berpikir positif, rasional, dan sikap lapang dada.

Sebuah bangsa yang mau belajar secara kritikal pada potret buram masa lalu, bukan bangsa yang masih menggantungkan nasibnya kepada asap kemenyan para dukun dan paranormal yang biasa menebar seribu janji. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement